Jumat, 31 Mei 2013

Optik Uang Kuliah Tunggal: Bisakah Orang Miskin Kuliah?!

Oleh: Tahegga Primananda Alfath  

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Kemendikbud) menjadi kementerian yang paling disorot di Tahun 2013. Kementerian yang dinahkodai oleh Bapak M. Nuh ini mengeluarkan berbagai kebijakan yang fenomenal mulai dari perubahan kurikulum pembelajaran; penambahan jumlah paket soal dalam Ujian Nasional; proses seleksi masuk perguruan tinggai; dan penentuan uang kuliah tunggal yang di mulai pada mahasiswa angkatan 2013/2014. Pada tulisan ini akan lebih memfokuskan untuk optik Kebijakan Uang Kuliah Tunggal.
Jika ditanya apakah Uang Kuliah Tunggal (UKT) itu, berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia Nomor 55 Tahun 2013 tentang Biaya Kuliah Tunggal dan Uang Kuliah Tunggal pada Perguruan Tinggi Negeri Di Lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud No. 55/2013), UKT adalah sebagian biaya kuliah tunggal ditanggung setiap mahasiswa berdasarkan kemampuan ekonominya, ditetapkan berdasarkan biaya kuliah tunggal dikurangi biaya yang ditanggung oleh Pemerintah. Biaya yang ditanggung oleh pemerintah merupakan amanat UU 12/2012, Bahwa berdasar pasal 83, Pemerintah menyediakan dana Pendidikan Tinggi yang dialokasikan dalam APBN dan Pemda dapat memberikan dukungan dana pendidikan tinggi yang dilokasikan dalan APBD. UKT ini terdiri atas beberapa kelompok yang ditentukan berdasarkan kelompok kemampuan ekonomi masyarakat (proposional). Pembagian kelompok-kelompok ini dimaksudkan agar semua masyarakat dapat mengenyam pendidikan perguruan tinggi, dengan sistem subsidi silang, “Si Kaya membantu Si Miskin”.
Jika ditelisik asal usul dari mana Kemendikbud mengeluarkan kebijakan tersebut (UKT), ternyata amanat dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi (UU 12/2012). Pada dasarnya Perguruan Tinggi memiliki otonomi pengelolaan di bidang akademik maupun di bidang non akademik. Pasal 64 ayat (3) huruf b berbicara  Pengelolaan keuangan merupakan salah satu otonomi pengelolaan di bidang non akademik Perguruan Tinggi, sehingga Perguruan Tinggi dapat melakukan penetapan norma dan kebijakan operasional serta pelaksanaan keuangan. Klusul pasal tersebut sering digunakan oleh Perguruan Tinggi untuk mengeluarkan kebijakan terhadap pengelolaan keuangannya. Untuk mengatur pelaksanaan pengelolaan Perguruan Tinggi seharusnya ada ketentuan lebih lanjut tentang pengelolaan Perguruan Tinggi yang diatur dalam peraturan pemerintah, akan tetapi hingga saat ini peraturan pemerintah tersebut belum juga di buat.
Apabila pemerintah telah menyediakan dana pendidikan tinggi, lantas apakah mahasiswa masih harus ikut menanggung biaya pendidikannya. Jawabannya adalah iya,  karena dalam Pasal 76 ayat (3) UU 12/2012 menjelaskan “Perguruan Tinggi atau penyelenggara Perguruan Tinggi menerima pembayaran yang ikut ditanggung oleh Mahasiswa untuk membiayai studinya sesuai dengan kemampuan Mahasiswa, orang tua Mahasiswa, atau pihak yang membiayainya.” Ketentuan lebih lanjut tentang Pasal 76 ayat (3) tersebut diatur dalam peraturan menteri.  
Dalam Pasal 88 ayat (1) UU 12/2012 Pemerintah menetapkan standar satuan biaya operasional Pendidikan Tinggi secara periodik dengan mempertimbangkan:
a. capaian Standar Nasional Pendidikan Tinggi;
b. jenis Program Studi; dan
c. indeks kemahalan wilayah.
Yang dimaksud dengan “Standar satuan biaya operasional” adalah biaya penyelenggaraan Pendidikan Tinggi di luar investasi dan pengembangan. Biaya investasi antara lain biaya pengadaan sarana dan prasarana serta sumber belajar. Standar satuan biaya operasional Pendidikan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tersebut menjadi dasar untuk mengalokasikan anggaran dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk Perguruan Tinggi Negeri. Standar satuan biaya operasional sebagaimana dimaksud juga digunakan sebagai dasar oleh Perguruan Tinggi Negeri untuk menetapkan biaya yang ditanggung oleh Mahasiswa.
Pasal 88 ayat (4) UU 12/2012 memberikan aturan kepada Perguruan Tinggi Negeri untuk menetapkan biaya yang ditanggung oleh Mahasiswa, yaitu harus disesuaikan dengan kemampuan ekonomi Mahasiswa, orang tua Mahasiswa, atau pihak lain yang membiayainya. Dan dalam ayat (5) menjelaskan ketentuan lebih lanjut mengenai standar satuan biaya operasional Pendidikan Tinggi diatur dalam Peraturan Menteri. Maka nampak jelas bahwa UU 12/2012 di dalam Pasal mengamanatkan untuk dibentuknya peraturan menteri terkait biaya pada pendidikan perguruan tinggi.
Amanat UU 12/2012 saat ini telah dilaksanakan, Kemendikbud akhirnya mengeluarkan Permendikbud No. 55/2013 untuk mengatur biaya kuliah tunggal, dan uang kuliah tunggal yang ditanggung oleh mahasiswa angkatan tahun 2013/2014. Sebelum Permendikbud No. 55/2013 dibuat, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) melakukan kewenangan bebasnya untuk mengeluarkan Surat Edaran tentang UKT pada tanggal 5 Februari 2013, Surat Edaran (SE) dengan Nomor 97/E/KU/2013. SE No. 97/E/KU/2013 tersebut meminta agar perguruan tinggi untuk menghapus uang pangkal mahasiswa baru program S1 reguler mulai tahun akademik 2013/2014, serta menetapkan dan melaksanakan tarif UKT bagi mahasiswa baru program S1 reguler mulai tahun akademik 2013/2014.
Setelah SE No. 97/E/KU/2013 dikeluarkan, beberapa bulan kemudian disusul dengan terbitnya SE No. 272/El.l/KU/2013 pada tanggal 3 April 2013 yang sama masih mengatur tentang UKT. Pada SE No.272/E1.1/KU/2013 memberikan aturan kepada perguruan tinggi yang akan menetapkan tarif UKT agar sesuai dengan amanat yang diberikan oleh undang-undang, aturan itu sebagai berikut:
  1. Tarif UKT sebaiknya dibagi atas 5 kelompok, dari yang paling rendah (kelompok 1) sampai yang paling tinggi (kelompok 5);
  2. Tarif UKT kelompok yang paling rendah (kelompok 1) rentangnya yang bisa dijangkau oleh masyarakat tidak mampu (misal: kuli bangunan, tukang becak, dll), misal Rp. 0,- s.d. Rp 500.000,- ;
  3. Paling sedikit ada 5% dari total mahasiswa yang diterima membayar UKT kelompok 1;
  4. Untuk kelompok 3 s.d. 5 masing-masing membayar UKT sesuai dengan kemarnpuan ekonominya, dirnana kelompok 5 merupakan kelompok dengan UKT tertinggi sesuai dengan program studi masing-masing;
  5. Paling sedikit ada 5% dari total mahasiswa yang diterima membayar UKT kelompok 2 dengan rentang Rp. 500.000,- s.d. Rp. 1.000.000,-.

SE No. 272/E1.1/KU/2013 ini dinilai telat hadir untuk melengkapi SE No. 97/E/KU/2013, beberapa perguruan tinggi telah mengeluarkan SK terkait Penetapan tarif UKT yang hanya berdasarkan pada SE No. 97/E/KU/2013 yang mana didalam SE tersebut belum diberikan aturan besaran dan jenis tarif yang diperbolehkan untuk ditarik. Perguruan Tinggi yang menggunakan landasan SE No. 97/E/KU/2013 dalam penetapan tarifnya, salah satunya adalah Universitas Brawijaya. Surat Keputusan Rektor Universitas Brawijaya No. 078/SK/2013 tentang Penetapan Uang Kuliah Tunggal (UKT) Bagi Mahasiswa Baru Program S1 yang Diterima Melalui Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) Jalur Undangan di Universitas Brawijaya Tahun Akademik  2013/2014 yang ditetapkan pada tanggal 4 Maret 2013 (Selanjutnya disebut SK Rektor UB No. 078/SK/2013).
SK Rektor UB No. 078/SK/2013 dalam menetapkan tarif UKT tentunya tidak sesuai dengan SE No. 272/E1.1/KU/2013 yang memerintahkan perguruan tinggi untuk menetapkan tarif UKT untuk Golongan I dengan besaran Rp.0 – Rp. 500.000,-, akan tetapi pada SK Rektor UB tersebut tidaklah demikian, besaran yang ditarik pada Golongan I yang paling rendah ada pada Fakultas Ilmu Budaya Rp. 4.680.000. Dalam hal ini sebenarnya Universitas Brawijaya tidaklah sepenuhnya salah, karena landasan pembuatan tarif tersebut hanya berdasarkan SE No. 97/E/KU/2013 yang pada kenyataannya dalam SE tersebut belum diatur mengenai batasan penarikan untuk golongan pertama dan kedua. Akan tetapi seyogyanya Universitas Brawijaya melakukan penyesuaian kembali ketika SE No. 272/E1.1/KU/2013 telah diterbitkan. Terlebih lagi dengan hadirnya Permendikbud No. 55/2013 yang mengatur tentang besaran tarif UKT yang dapat ditarik oleh masing-masing perguruan tinggi negeri.
Kedudukan hukum Permendikbud No. 55/2013 ini bukanlah sekedar sebagai peraturan kebijakan, akan tetapi merupakan masuk kepada jenis peraturan perundang-undangan yang berlaku dan harus diikuti. Alasan hukumnya permendikbud No 55/2013 merupakan delegasi dari UU No. 12/2012 sehingga dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU 12/2011). Dalam ayat (1) menyatakan:
 Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.”
Dan pada ayat (2) dijelaskan lebih lanjut tentang kedudukannya, yaitu:
“Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.   
Dengan demikian SK Rektor UB No. 078/SK/2013 yang digunakan untuk menetapkan besaran tarif UKT adalah bertentangan dengan Permendikbud No. 55/2013. Dan dari berbagai penjelasan diatas, seyogyanya Universitas Brawijaya mematuhi Permendikbud No. 55/2013 untuk menentukan besaran tarif UKT, seperti halnya universitas yang lain. Apabila masih dirasakan ada kelemahan atau kekurangan dalam sistem UKT ini, tentu akan terus ada proses evaluasi dan perbaikan secara berkala. Setidaknya UKT ini merupakan semangat pemerintah untuk memberikan pendidikan agar dapat diakses oleh semua kalangan sebagai perwujudan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sehingga perlu dukungan dari semua stakeholder untuk mewujudkan hal tersebut.    

KETIKA UKT ADALAH SECUIL HARAPAN SI MISKIN UNTUK BERSEKOLAH TINGGI, TEGAKAH KITA MELENYAPKANNYA?!!!

Rabu, 24 April 2013

‘GERBANG WIENDU’ Sebagai Upaya Kabupaten Sidoarjo Menuju Kota Minapolitan Dunia


      Oleh: Tahegga Primananda Alfath
      A.    Pendahuluan
Kabupaten Sidoarjo terletak antara 112,5’ dan 112,9’ Bujur Timur dan antara 7,3’ dan 7,5’ Lintang Selatan. Batas sebelah utara adalah Kotamadya Surabaya dan Kabupaten Gresik, sebelah selatan adalah Kabupaten Pasuruan, sebelah timur adalah Selat Madura dan sebelah barat adalah Kabupaten Mojokerto. Topografi Kabupaten Sidoarjo merupakan dataran delta dengan ketinggian antar 0 s/d 25 meter, ketinggian 0-3 meter dengan luas 19.006 Ha, meliputi 29,99%, merupakan daerah pertambakkan yang berada di wilayah bagian timur. Wilayah bagian tengah yang berair tawar dengan ketinggian 3-10 meter dari permukaan laut merupakan daerah pemukiman, perdagangan dan pemerintahanmeliputi 40,81 %. Wilayah bagian barat dengan ketinggian 10-25 meter dari permukaan laut merupakan daerah pertanian, meliputi 29,20%.
Kondisi hidrogeologi Kabupaten Sidoarjo merupakan daerah air tanah, payau dan air asin yang mencapai luas 16.312.69 Ha. Kedalaman air tanahnya rata-rata 0-5 meter dari permukaan tanah. Dan kondisi hidrologi Kabupaten Sidoarjo, terletak di dua aliran sungai yaitu Kali Surabaya dan Kali Porong yang merupakan cabang dari Kali Berantas yang berhulu di Kabupaten Malang. Untuk struktur tanah Kabupaten Sidoarjo terdiri dari Alluvial kelabu seluas 6.236,37 Ha, Assosiasi Alluvial kelabu dan Alluvial Coklat seluas 4.970,23 Ha, Alluvial Hidromart seluas 29.346,95 Ha, dan Gromosal kelabu Tua Seluas 870,70 Ha.
Sejarah Kabupaten Sidoarjo bermula pada tahun 1019 - 1042 pada saat Kerajaan Jawa Timur diperintah oleh Raja Airlangga yang merupakan putra dari Puteri Mahandradata dan seorang Pangeran dari Bali yang bernama Udayana. Pada akhir masa pemerintahannya di tahun 1042, Raja Airlangga membagi kerajaan menjadi dua bagian kepada dua putranya yang bernama Sri Samarawijaya dan Mapanji Garasakan, agar dikemudian hari tidak ada perebutan tahta dan permusuhan antar keduanya. Kedua putra tersebut masing-masing memerintah Kerajaan Kediri yang berpusat di Daha dan Kerajaan Jenggala yang berpusat di Kahuripan (yang diyakini merupakan daerah Sidoarjo). Kerajaan Kediri yang dipimpin Sri Samarawijaya memiliki hasil pertanian yang sangat besar dan upeti selalu mengalir banyak, akan tetapi semua hasil tersebut sulit diperdagangkan karena Kerajaan Kediri jauh dan tertutup dari laut yang merupakan sarana perdagangan pada masa itu. Lain halnya dengan Kerajaan Jenggala yang dipimpin Mapanji Garasakan terletak di daerah Delta Brantas yang meliputi seluruh pesisir Utara, Kerajaan Jenggala menguasai muara sungai besar dan bandar-bandar di tempat tersebut. Dari perbedaan dan persaingan di antara dua Kerajaan tersebut yang sudah berlangsung hingga sampai kurang lebih 90 tahun lamanya, maka timbullah peperangan besar diantara keduanya yang bertujuan saling memperebutkan bandar dan menuntut pengambil alihan Kerajaan Jenggala. Perang antara kedua Kerajaan tersebut berakhir dengan takluknya Kerajaan Jenggala pada tahun 1035 (menurut prasasti Ngantang) oleh Kerajaan Kediri yang pada saat itu dipimpin Sri Jayabaya.
Kondisi geografis Kabupaten Sidoarjo yang strategis dan sejarah masa lalu, memperlihatkan bahwa Sidoarjo menyimpan banyak potensi sumber daya alam dan potensi industrial/ perekonomian yang baik, wajar jika Sidoarjo sebagai salah satu penyangga Ibukota Propinsi Jawa Timur. Maka dengan latar belakang ini Sidoarjo Go International adalah sebuah keniscayaan, hanya tinggal dibutuhkan suatu konsep yang sistematis dan terpadu untuk mengantarkannya ke posisi tersebut. Dalam tulisan ini penulis mencoba menawarkan Konsep ‘GERBANG WIENDU’ untuk mengantarkan Sidoarjo sebagai kota minapolitan dunia.

    B.   Konsep ‘GERBANG WIENDU’ (Gerakan Pembangunan Wisata dan Ekonomi Terpadu)     Menuju Sidoarjo Sebagai Kota Minapolitan Dunia.
’GERBANG WIENDU’ merupakan kepanjangan dari Gerakan Pembangunan Wisata dan Ekonomi Terpadu. Konsep tersebut berangkat dari sebuah konsep dasar ekowisata, yaitu merupakan konsep pengembangan pariwisata yang berkelanjutan yang bertujuan untuk mendukung upaya-upaya pelestarian lingkungan (alam dan budaya) dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sehingga memberi manfaat ekonomi kepada masyarakat dan pemerintah setempat.[1] Sehingga ekowisata lebih diartikan sebagai manejemen lokal dalam pengelolaan wisata dengan mengedepankan kualitas integrasi pembangunan dan konservasi lingkungan hidup sebagai bentuk penghargaan terhadap kelestarian alam dan budaya.  
Penerapan ‘GERBANG WIENDU’ ini akan dilaksanakan pada daerah pesisir yang dimiliki oleh Kabupaten Sidoarjo. Dipilihnya daerah pesisir dikarenakan selama ini pembangunan wilayah pesisir masih dilakukan secara parsial dan sektoral, pendekatan sektoral yang dilakukan pada sektor kelautan ternyata belum mampu mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya kelautan itu sendiri. Bahkan banyak kebijakan sektoral, yang karena kurang terpadunya perencanaan, menimbulkan banyak kerugian dan kerusakan lingkungan.[2] Pembangunan wilayah pesisir dan kelautan dengan menggunakan pendekatan wilayah terpadu sekurang-kurangnya memperhatikan enam aspek, yang merupakan pilar-pilar pembangunan wilayah sehingga harus diperhatian secara keseluruhan. Keenam aspek tersebut, yaitu: Aspek biofisik, aspek ekonomi, aspek sosial budaya, politik dan hankam, aspek kelembagaan, aspek lokasi dan aspek lingkungan.[3]
Daerah pesisir ini dipilih karena merupakan daerah yang paling dekat dengan Bandara Internasional Juanda yang selama ini menjadi gerbang utama masuknya wisatawan baik lokal maupun asing yang ingin berkunjung ke wilayah Jawa Timur. Selain itu ikon kota Agrowisata telah dimiliki oleh Malang dan Batu, sehingga akan menjadi daya tarik sendiri jika Sidoarjo menggunakan ikon Kota Minapolitan, yang mana hal tersebut belum dimiliki kota-kota lain di Jawa Timur.  Minapolitan adalah konsep pembangunan kelautan dan perikanan berbasis wilayah dengan pendekatan sistem manajemen kawasan dengan prinsip-prinsip: integrasi, efisiensi, kualitas, dan akselerasi.[4]
‘GERBANG WIENDU’ akan melalui tahapan-tahapan yang harus dilakukan agar nantinya menghasilkan out put yang diinginkan. Langkah pertama dari melakukan perencanaan ‘GERBANG WIENDU’ dengan perencanaan aspiratif yaitu memperhatikan enam aspek pembangunan wilayah pesisir yang sudah dipaparkan penulis sebelumnya. Setelah itu perencana harus menentukan latar belakang apa yang mendasari adanya ekowisata terpadu daerah pesisir ini sehingga jelas nanti tujuan yang akan dihasilkan. Setelah berhasil menentukan latar belakang dan menemukan permasalahan tujuan, dilanjutkan dengan melakukan analisis kebijakan yang memperhatikan: rencana pengelolan, rencana strategis, dan pembiayaan resmi. Setelah analisis kebijakan tersebut telah dilaksanakan barulah melakukan identifikasi kondisi awal wilayah dan sumber daya ekowisata daerah pesisir. Dari serangakaian awal tersebut, penulis menganalogikannya sebagai langkah fit and proper test.
           Langkah berikutnya adalah tahapan rekomendasi dari hasil fit and proper test tersebut dengan dilanjutkan dengan tahapan implementasi untuk ekowisata terbadu daerah pesisir. Agar implementasi dari ‘GERBANG WIENDU’ tidak keluar dari jalur yang telah ditentukan, maka penulis juga memasukan monitoring dan evaluasi sebagai mekanisme represif. Ketika seluruh mekanisme dipatuhi maka tujuan utama dari ‘GERBANG WIENDU’ yang diinginkan penulis: Memelihara atau meningkatkan intergritas ekosistem khususnya pada tanaman bakau yang ada di pesisir Sidoarjo, Meningkatkan kesejahteraan masyarakat kerana akan menumbuhkembangkan ekonomi masyarakat pesisir, mengembangkan dan menerapkan strategi yang preventif dan adaptif untuk menanggapi ancaman perubahan lingkungan global, dan yang paling utama akan mampu membawa Sidoarjo Go International dengan mengusung sumber daya lokalnya yang tidak terpikirkan sebelumnya. 

      C. Penutup 
              Gagasan Gerakan Pembangunan Wisata dan Ekonomi Terpadu (GERBANG WIENDU) yang ditawarkan penulis seyogyanya dapat dijadikan alternatif solusi dalam upaya Sidoarjo menuju Kota Minapolitan dunia. Penulis sangat yakin jika Pemerintah maupun stakeholder dari pusat sampai ke daerah mendukung secara penuh, penerapan model gerakan pembangunan wisata dan ekonomi terpadu daerah pesisir Sidoarjo dengan mengoptimalkan peran strategis pemerintah, akan meningkatkan kesejahteraan serta kebanggan bagi masyarakat Sidoarjo. Kemudian industri-industri lain misalnya Batik khas Sidoarjo, Brodir khas Sidoarjo, Kerajinan Tas, Jaket, Sepatu dan Sandal khas Sidoarjo, serta berbagai makanan olahan dari hasil tambak udang dan bandeng akan ikut mengalami peningkatan seiring dengan jumlah wisatawan yang terus bertambah. Selain itu kerusakan lingkungan tidak perlu dikhawatirkan karena ‘GERBANG WIENDU’ ini tentunya berbasis kepada penjagaan ekosistem lingkungan yang berkelanjutan.


[1] Luchman Hakim, Dasar - Dasar Ekowisata, Malang: Bayumedia, 2004, h. 53.
[2] Sugeng Budiharsono, Teknik Analisis Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan, Jakarta: Pradnya Paramita, 2005, h. 13.
[3] Ibid, h. 14.