Rabu, 15 Januari 2014

Tanya Hukum: Izin Tetangga Masuk Syarat IMB?

Saya adalah warga Surabaya , yang tinggal di kawasan Surabaya Barat, ingin bertanya kepada pengasuh. Dalam satu bulan terakhir ini saya sekeluarga merasa terganggu dengan adanya bangunan komplek pertokoan di dekat rumah saya. Developer tersebut, ternyata membangun komplek pertokoannya dengan tanpa meminta izin saya sebagai tetatangganya. Itu saya ketahui setelah saya mencoba tanya kepada pimpronya, menyebutkan meraka membangun berdasarkan IMB yang telah meraka kantongi. Pertanyaan saya, bisakan terbit IMB tanpa mendapat persetujuan dari tetangga kanan kiri. Lalu jika rumah kami terdapat retak-retak akibat beroperasinya alat berat di proyek tersebut, dapatkan saya memperkarakannya, baik pidana atau perdata? Demikian terima kasih. Bahwa syarat terbitnya IMB (Izin Mendirikan Bangunan) jenis yang baru di Kota Surabaya, terdiri dari: 1. Copy KTP, tanda lunas PBB. 2. Copy bukti hak penguasaan / kepemilikan tanah yang sah dilegalisir oleh pejabat yang berwenang. 3. Hasil penelitian lokasi untuk rumah tinggal dan syarat zoning untuk non rumah tinggal yang dikeluarkan Dinas Tata Kota. 4. Surat pernyataan permohonan IMB. 5. Gambar rencana bangunan (bestek) skala 1 : 100 (sebanyak 3 set). 6. Perhitungan dan gambar konstruksi -> kayu = 1 : 50, 1 : 20 (sebanyak 2 set), Beton = 1 : 50, 1 : 20 (sebanyak 2 set ), Baja = 1 : 50, 1 :5 (sebanyak 2 set), berikut pernyataan Pertanggungjawaban Konstruksi. 7. Melunasi Pembayaran Retribusi IMB Sehingga pada dasarnya, tidak ada kewajiban bagi orang yang ingin mendirikan bangunan untuk meminta izin kepada tetangganya. Namun, dalam praktiknya di sebagian daerah seseorang yang hendak membangun merasa perlu memberitahu tetangga yang tinggal bersebelahan dengan bangunan yang didirikan. Hal tersebut bisa jadi telah menjadi kebiasaan yang berlaku di sebagian masyarakat Indonesia. Hal demikian dapat dipahami karena pembangunan akan menimbulkan kegaduhan, kotornya area sekitar atau hal-hal lainnya, serta tidak menutup kemungkinan dapat merusak bangunan milik tetangga. Namun, jika penanya yang budiman merasa terganggu atas pembangunan tersebut, dan mengalami kerugian. Ada upaya hukum yang dapat dilakukan dengan melakukan gugatan ke pengadilan negeri setempat dengan dasar gugatan perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 BW). Dalam Pasal 1365 BW tersebut memuat ketentuan sebagai berikut: “Setiap perbuatan melawan hukum yang oleh karenanya menimbulkan kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang karena kesalahannya menyebabkan kerugian itu mengganti kerugian.” Akan tetapi kami lebih menyarankan kepada penanya yang budiman untuk mengedepankan asas kekeluargaan dengan cara melalukan musyawarah mufakat. Dasar hukum: Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 7 Tahun 1992 tentang Izin Mendirikan Bangunan. Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 17 Tahun 1999 Tentang Retribusi Izin Mendirikan Bangunan. Burgerlijk Wetboek

Jumat, 31 Mei 2013

Optik Uang Kuliah Tunggal: Bisakah Orang Miskin Kuliah?!

Oleh: Tahegga Primananda Alfath  

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Kemendikbud) menjadi kementerian yang paling disorot di Tahun 2013. Kementerian yang dinahkodai oleh Bapak M. Nuh ini mengeluarkan berbagai kebijakan yang fenomenal mulai dari perubahan kurikulum pembelajaran; penambahan jumlah paket soal dalam Ujian Nasional; proses seleksi masuk perguruan tinggai; dan penentuan uang kuliah tunggal yang di mulai pada mahasiswa angkatan 2013/2014. Pada tulisan ini akan lebih memfokuskan untuk optik Kebijakan Uang Kuliah Tunggal.
Jika ditanya apakah Uang Kuliah Tunggal (UKT) itu, berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia Nomor 55 Tahun 2013 tentang Biaya Kuliah Tunggal dan Uang Kuliah Tunggal pada Perguruan Tinggi Negeri Di Lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud No. 55/2013), UKT adalah sebagian biaya kuliah tunggal ditanggung setiap mahasiswa berdasarkan kemampuan ekonominya, ditetapkan berdasarkan biaya kuliah tunggal dikurangi biaya yang ditanggung oleh Pemerintah. Biaya yang ditanggung oleh pemerintah merupakan amanat UU 12/2012, Bahwa berdasar pasal 83, Pemerintah menyediakan dana Pendidikan Tinggi yang dialokasikan dalam APBN dan Pemda dapat memberikan dukungan dana pendidikan tinggi yang dilokasikan dalan APBD. UKT ini terdiri atas beberapa kelompok yang ditentukan berdasarkan kelompok kemampuan ekonomi masyarakat (proposional). Pembagian kelompok-kelompok ini dimaksudkan agar semua masyarakat dapat mengenyam pendidikan perguruan tinggi, dengan sistem subsidi silang, “Si Kaya membantu Si Miskin”.
Jika ditelisik asal usul dari mana Kemendikbud mengeluarkan kebijakan tersebut (UKT), ternyata amanat dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi (UU 12/2012). Pada dasarnya Perguruan Tinggi memiliki otonomi pengelolaan di bidang akademik maupun di bidang non akademik. Pasal 64 ayat (3) huruf b berbicara  Pengelolaan keuangan merupakan salah satu otonomi pengelolaan di bidang non akademik Perguruan Tinggi, sehingga Perguruan Tinggi dapat melakukan penetapan norma dan kebijakan operasional serta pelaksanaan keuangan. Klusul pasal tersebut sering digunakan oleh Perguruan Tinggi untuk mengeluarkan kebijakan terhadap pengelolaan keuangannya. Untuk mengatur pelaksanaan pengelolaan Perguruan Tinggi seharusnya ada ketentuan lebih lanjut tentang pengelolaan Perguruan Tinggi yang diatur dalam peraturan pemerintah, akan tetapi hingga saat ini peraturan pemerintah tersebut belum juga di buat.
Apabila pemerintah telah menyediakan dana pendidikan tinggi, lantas apakah mahasiswa masih harus ikut menanggung biaya pendidikannya. Jawabannya adalah iya,  karena dalam Pasal 76 ayat (3) UU 12/2012 menjelaskan “Perguruan Tinggi atau penyelenggara Perguruan Tinggi menerima pembayaran yang ikut ditanggung oleh Mahasiswa untuk membiayai studinya sesuai dengan kemampuan Mahasiswa, orang tua Mahasiswa, atau pihak yang membiayainya.” Ketentuan lebih lanjut tentang Pasal 76 ayat (3) tersebut diatur dalam peraturan menteri.  
Dalam Pasal 88 ayat (1) UU 12/2012 Pemerintah menetapkan standar satuan biaya operasional Pendidikan Tinggi secara periodik dengan mempertimbangkan:
a. capaian Standar Nasional Pendidikan Tinggi;
b. jenis Program Studi; dan
c. indeks kemahalan wilayah.
Yang dimaksud dengan “Standar satuan biaya operasional” adalah biaya penyelenggaraan Pendidikan Tinggi di luar investasi dan pengembangan. Biaya investasi antara lain biaya pengadaan sarana dan prasarana serta sumber belajar. Standar satuan biaya operasional Pendidikan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tersebut menjadi dasar untuk mengalokasikan anggaran dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk Perguruan Tinggi Negeri. Standar satuan biaya operasional sebagaimana dimaksud juga digunakan sebagai dasar oleh Perguruan Tinggi Negeri untuk menetapkan biaya yang ditanggung oleh Mahasiswa.
Pasal 88 ayat (4) UU 12/2012 memberikan aturan kepada Perguruan Tinggi Negeri untuk menetapkan biaya yang ditanggung oleh Mahasiswa, yaitu harus disesuaikan dengan kemampuan ekonomi Mahasiswa, orang tua Mahasiswa, atau pihak lain yang membiayainya. Dan dalam ayat (5) menjelaskan ketentuan lebih lanjut mengenai standar satuan biaya operasional Pendidikan Tinggi diatur dalam Peraturan Menteri. Maka nampak jelas bahwa UU 12/2012 di dalam Pasal mengamanatkan untuk dibentuknya peraturan menteri terkait biaya pada pendidikan perguruan tinggi.
Amanat UU 12/2012 saat ini telah dilaksanakan, Kemendikbud akhirnya mengeluarkan Permendikbud No. 55/2013 untuk mengatur biaya kuliah tunggal, dan uang kuliah tunggal yang ditanggung oleh mahasiswa angkatan tahun 2013/2014. Sebelum Permendikbud No. 55/2013 dibuat, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) melakukan kewenangan bebasnya untuk mengeluarkan Surat Edaran tentang UKT pada tanggal 5 Februari 2013, Surat Edaran (SE) dengan Nomor 97/E/KU/2013. SE No. 97/E/KU/2013 tersebut meminta agar perguruan tinggi untuk menghapus uang pangkal mahasiswa baru program S1 reguler mulai tahun akademik 2013/2014, serta menetapkan dan melaksanakan tarif UKT bagi mahasiswa baru program S1 reguler mulai tahun akademik 2013/2014.
Setelah SE No. 97/E/KU/2013 dikeluarkan, beberapa bulan kemudian disusul dengan terbitnya SE No. 272/El.l/KU/2013 pada tanggal 3 April 2013 yang sama masih mengatur tentang UKT. Pada SE No.272/E1.1/KU/2013 memberikan aturan kepada perguruan tinggi yang akan menetapkan tarif UKT agar sesuai dengan amanat yang diberikan oleh undang-undang, aturan itu sebagai berikut:
  1. Tarif UKT sebaiknya dibagi atas 5 kelompok, dari yang paling rendah (kelompok 1) sampai yang paling tinggi (kelompok 5);
  2. Tarif UKT kelompok yang paling rendah (kelompok 1) rentangnya yang bisa dijangkau oleh masyarakat tidak mampu (misal: kuli bangunan, tukang becak, dll), misal Rp. 0,- s.d. Rp 500.000,- ;
  3. Paling sedikit ada 5% dari total mahasiswa yang diterima membayar UKT kelompok 1;
  4. Untuk kelompok 3 s.d. 5 masing-masing membayar UKT sesuai dengan kemarnpuan ekonominya, dirnana kelompok 5 merupakan kelompok dengan UKT tertinggi sesuai dengan program studi masing-masing;
  5. Paling sedikit ada 5% dari total mahasiswa yang diterima membayar UKT kelompok 2 dengan rentang Rp. 500.000,- s.d. Rp. 1.000.000,-.

SE No. 272/E1.1/KU/2013 ini dinilai telat hadir untuk melengkapi SE No. 97/E/KU/2013, beberapa perguruan tinggi telah mengeluarkan SK terkait Penetapan tarif UKT yang hanya berdasarkan pada SE No. 97/E/KU/2013 yang mana didalam SE tersebut belum diberikan aturan besaran dan jenis tarif yang diperbolehkan untuk ditarik. Perguruan Tinggi yang menggunakan landasan SE No. 97/E/KU/2013 dalam penetapan tarifnya, salah satunya adalah Universitas Brawijaya. Surat Keputusan Rektor Universitas Brawijaya No. 078/SK/2013 tentang Penetapan Uang Kuliah Tunggal (UKT) Bagi Mahasiswa Baru Program S1 yang Diterima Melalui Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) Jalur Undangan di Universitas Brawijaya Tahun Akademik  2013/2014 yang ditetapkan pada tanggal 4 Maret 2013 (Selanjutnya disebut SK Rektor UB No. 078/SK/2013).
SK Rektor UB No. 078/SK/2013 dalam menetapkan tarif UKT tentunya tidak sesuai dengan SE No. 272/E1.1/KU/2013 yang memerintahkan perguruan tinggi untuk menetapkan tarif UKT untuk Golongan I dengan besaran Rp.0 – Rp. 500.000,-, akan tetapi pada SK Rektor UB tersebut tidaklah demikian, besaran yang ditarik pada Golongan I yang paling rendah ada pada Fakultas Ilmu Budaya Rp. 4.680.000. Dalam hal ini sebenarnya Universitas Brawijaya tidaklah sepenuhnya salah, karena landasan pembuatan tarif tersebut hanya berdasarkan SE No. 97/E/KU/2013 yang pada kenyataannya dalam SE tersebut belum diatur mengenai batasan penarikan untuk golongan pertama dan kedua. Akan tetapi seyogyanya Universitas Brawijaya melakukan penyesuaian kembali ketika SE No. 272/E1.1/KU/2013 telah diterbitkan. Terlebih lagi dengan hadirnya Permendikbud No. 55/2013 yang mengatur tentang besaran tarif UKT yang dapat ditarik oleh masing-masing perguruan tinggi negeri.
Kedudukan hukum Permendikbud No. 55/2013 ini bukanlah sekedar sebagai peraturan kebijakan, akan tetapi merupakan masuk kepada jenis peraturan perundang-undangan yang berlaku dan harus diikuti. Alasan hukumnya permendikbud No 55/2013 merupakan delegasi dari UU No. 12/2012 sehingga dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU 12/2011). Dalam ayat (1) menyatakan:
 Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.”
Dan pada ayat (2) dijelaskan lebih lanjut tentang kedudukannya, yaitu:
“Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.   
Dengan demikian SK Rektor UB No. 078/SK/2013 yang digunakan untuk menetapkan besaran tarif UKT adalah bertentangan dengan Permendikbud No. 55/2013. Dan dari berbagai penjelasan diatas, seyogyanya Universitas Brawijaya mematuhi Permendikbud No. 55/2013 untuk menentukan besaran tarif UKT, seperti halnya universitas yang lain. Apabila masih dirasakan ada kelemahan atau kekurangan dalam sistem UKT ini, tentu akan terus ada proses evaluasi dan perbaikan secara berkala. Setidaknya UKT ini merupakan semangat pemerintah untuk memberikan pendidikan agar dapat diakses oleh semua kalangan sebagai perwujudan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sehingga perlu dukungan dari semua stakeholder untuk mewujudkan hal tersebut.    

KETIKA UKT ADALAH SECUIL HARAPAN SI MISKIN UNTUK BERSEKOLAH TINGGI, TEGAKAH KITA MELENYAPKANNYA?!!!

Rabu, 24 April 2013

‘GERBANG WIENDU’ Sebagai Upaya Kabupaten Sidoarjo Menuju Kota Minapolitan Dunia


      Oleh: Tahegga Primananda Alfath
      A.    Pendahuluan
Kabupaten Sidoarjo terletak antara 112,5’ dan 112,9’ Bujur Timur dan antara 7,3’ dan 7,5’ Lintang Selatan. Batas sebelah utara adalah Kotamadya Surabaya dan Kabupaten Gresik, sebelah selatan adalah Kabupaten Pasuruan, sebelah timur adalah Selat Madura dan sebelah barat adalah Kabupaten Mojokerto. Topografi Kabupaten Sidoarjo merupakan dataran delta dengan ketinggian antar 0 s/d 25 meter, ketinggian 0-3 meter dengan luas 19.006 Ha, meliputi 29,99%, merupakan daerah pertambakkan yang berada di wilayah bagian timur. Wilayah bagian tengah yang berair tawar dengan ketinggian 3-10 meter dari permukaan laut merupakan daerah pemukiman, perdagangan dan pemerintahanmeliputi 40,81 %. Wilayah bagian barat dengan ketinggian 10-25 meter dari permukaan laut merupakan daerah pertanian, meliputi 29,20%.
Kondisi hidrogeologi Kabupaten Sidoarjo merupakan daerah air tanah, payau dan air asin yang mencapai luas 16.312.69 Ha. Kedalaman air tanahnya rata-rata 0-5 meter dari permukaan tanah. Dan kondisi hidrologi Kabupaten Sidoarjo, terletak di dua aliran sungai yaitu Kali Surabaya dan Kali Porong yang merupakan cabang dari Kali Berantas yang berhulu di Kabupaten Malang. Untuk struktur tanah Kabupaten Sidoarjo terdiri dari Alluvial kelabu seluas 6.236,37 Ha, Assosiasi Alluvial kelabu dan Alluvial Coklat seluas 4.970,23 Ha, Alluvial Hidromart seluas 29.346,95 Ha, dan Gromosal kelabu Tua Seluas 870,70 Ha.
Sejarah Kabupaten Sidoarjo bermula pada tahun 1019 - 1042 pada saat Kerajaan Jawa Timur diperintah oleh Raja Airlangga yang merupakan putra dari Puteri Mahandradata dan seorang Pangeran dari Bali yang bernama Udayana. Pada akhir masa pemerintahannya di tahun 1042, Raja Airlangga membagi kerajaan menjadi dua bagian kepada dua putranya yang bernama Sri Samarawijaya dan Mapanji Garasakan, agar dikemudian hari tidak ada perebutan tahta dan permusuhan antar keduanya. Kedua putra tersebut masing-masing memerintah Kerajaan Kediri yang berpusat di Daha dan Kerajaan Jenggala yang berpusat di Kahuripan (yang diyakini merupakan daerah Sidoarjo). Kerajaan Kediri yang dipimpin Sri Samarawijaya memiliki hasil pertanian yang sangat besar dan upeti selalu mengalir banyak, akan tetapi semua hasil tersebut sulit diperdagangkan karena Kerajaan Kediri jauh dan tertutup dari laut yang merupakan sarana perdagangan pada masa itu. Lain halnya dengan Kerajaan Jenggala yang dipimpin Mapanji Garasakan terletak di daerah Delta Brantas yang meliputi seluruh pesisir Utara, Kerajaan Jenggala menguasai muara sungai besar dan bandar-bandar di tempat tersebut. Dari perbedaan dan persaingan di antara dua Kerajaan tersebut yang sudah berlangsung hingga sampai kurang lebih 90 tahun lamanya, maka timbullah peperangan besar diantara keduanya yang bertujuan saling memperebutkan bandar dan menuntut pengambil alihan Kerajaan Jenggala. Perang antara kedua Kerajaan tersebut berakhir dengan takluknya Kerajaan Jenggala pada tahun 1035 (menurut prasasti Ngantang) oleh Kerajaan Kediri yang pada saat itu dipimpin Sri Jayabaya.
Kondisi geografis Kabupaten Sidoarjo yang strategis dan sejarah masa lalu, memperlihatkan bahwa Sidoarjo menyimpan banyak potensi sumber daya alam dan potensi industrial/ perekonomian yang baik, wajar jika Sidoarjo sebagai salah satu penyangga Ibukota Propinsi Jawa Timur. Maka dengan latar belakang ini Sidoarjo Go International adalah sebuah keniscayaan, hanya tinggal dibutuhkan suatu konsep yang sistematis dan terpadu untuk mengantarkannya ke posisi tersebut. Dalam tulisan ini penulis mencoba menawarkan Konsep ‘GERBANG WIENDU’ untuk mengantarkan Sidoarjo sebagai kota minapolitan dunia.

    B.   Konsep ‘GERBANG WIENDU’ (Gerakan Pembangunan Wisata dan Ekonomi Terpadu)     Menuju Sidoarjo Sebagai Kota Minapolitan Dunia.
’GERBANG WIENDU’ merupakan kepanjangan dari Gerakan Pembangunan Wisata dan Ekonomi Terpadu. Konsep tersebut berangkat dari sebuah konsep dasar ekowisata, yaitu merupakan konsep pengembangan pariwisata yang berkelanjutan yang bertujuan untuk mendukung upaya-upaya pelestarian lingkungan (alam dan budaya) dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sehingga memberi manfaat ekonomi kepada masyarakat dan pemerintah setempat.[1] Sehingga ekowisata lebih diartikan sebagai manejemen lokal dalam pengelolaan wisata dengan mengedepankan kualitas integrasi pembangunan dan konservasi lingkungan hidup sebagai bentuk penghargaan terhadap kelestarian alam dan budaya.  
Penerapan ‘GERBANG WIENDU’ ini akan dilaksanakan pada daerah pesisir yang dimiliki oleh Kabupaten Sidoarjo. Dipilihnya daerah pesisir dikarenakan selama ini pembangunan wilayah pesisir masih dilakukan secara parsial dan sektoral, pendekatan sektoral yang dilakukan pada sektor kelautan ternyata belum mampu mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya kelautan itu sendiri. Bahkan banyak kebijakan sektoral, yang karena kurang terpadunya perencanaan, menimbulkan banyak kerugian dan kerusakan lingkungan.[2] Pembangunan wilayah pesisir dan kelautan dengan menggunakan pendekatan wilayah terpadu sekurang-kurangnya memperhatikan enam aspek, yang merupakan pilar-pilar pembangunan wilayah sehingga harus diperhatian secara keseluruhan. Keenam aspek tersebut, yaitu: Aspek biofisik, aspek ekonomi, aspek sosial budaya, politik dan hankam, aspek kelembagaan, aspek lokasi dan aspek lingkungan.[3]
Daerah pesisir ini dipilih karena merupakan daerah yang paling dekat dengan Bandara Internasional Juanda yang selama ini menjadi gerbang utama masuknya wisatawan baik lokal maupun asing yang ingin berkunjung ke wilayah Jawa Timur. Selain itu ikon kota Agrowisata telah dimiliki oleh Malang dan Batu, sehingga akan menjadi daya tarik sendiri jika Sidoarjo menggunakan ikon Kota Minapolitan, yang mana hal tersebut belum dimiliki kota-kota lain di Jawa Timur.  Minapolitan adalah konsep pembangunan kelautan dan perikanan berbasis wilayah dengan pendekatan sistem manajemen kawasan dengan prinsip-prinsip: integrasi, efisiensi, kualitas, dan akselerasi.[4]
‘GERBANG WIENDU’ akan melalui tahapan-tahapan yang harus dilakukan agar nantinya menghasilkan out put yang diinginkan. Langkah pertama dari melakukan perencanaan ‘GERBANG WIENDU’ dengan perencanaan aspiratif yaitu memperhatikan enam aspek pembangunan wilayah pesisir yang sudah dipaparkan penulis sebelumnya. Setelah itu perencana harus menentukan latar belakang apa yang mendasari adanya ekowisata terpadu daerah pesisir ini sehingga jelas nanti tujuan yang akan dihasilkan. Setelah berhasil menentukan latar belakang dan menemukan permasalahan tujuan, dilanjutkan dengan melakukan analisis kebijakan yang memperhatikan: rencana pengelolan, rencana strategis, dan pembiayaan resmi. Setelah analisis kebijakan tersebut telah dilaksanakan barulah melakukan identifikasi kondisi awal wilayah dan sumber daya ekowisata daerah pesisir. Dari serangakaian awal tersebut, penulis menganalogikannya sebagai langkah fit and proper test.
           Langkah berikutnya adalah tahapan rekomendasi dari hasil fit and proper test tersebut dengan dilanjutkan dengan tahapan implementasi untuk ekowisata terbadu daerah pesisir. Agar implementasi dari ‘GERBANG WIENDU’ tidak keluar dari jalur yang telah ditentukan, maka penulis juga memasukan monitoring dan evaluasi sebagai mekanisme represif. Ketika seluruh mekanisme dipatuhi maka tujuan utama dari ‘GERBANG WIENDU’ yang diinginkan penulis: Memelihara atau meningkatkan intergritas ekosistem khususnya pada tanaman bakau yang ada di pesisir Sidoarjo, Meningkatkan kesejahteraan masyarakat kerana akan menumbuhkembangkan ekonomi masyarakat pesisir, mengembangkan dan menerapkan strategi yang preventif dan adaptif untuk menanggapi ancaman perubahan lingkungan global, dan yang paling utama akan mampu membawa Sidoarjo Go International dengan mengusung sumber daya lokalnya yang tidak terpikirkan sebelumnya. 

      C. Penutup 
              Gagasan Gerakan Pembangunan Wisata dan Ekonomi Terpadu (GERBANG WIENDU) yang ditawarkan penulis seyogyanya dapat dijadikan alternatif solusi dalam upaya Sidoarjo menuju Kota Minapolitan dunia. Penulis sangat yakin jika Pemerintah maupun stakeholder dari pusat sampai ke daerah mendukung secara penuh, penerapan model gerakan pembangunan wisata dan ekonomi terpadu daerah pesisir Sidoarjo dengan mengoptimalkan peran strategis pemerintah, akan meningkatkan kesejahteraan serta kebanggan bagi masyarakat Sidoarjo. Kemudian industri-industri lain misalnya Batik khas Sidoarjo, Brodir khas Sidoarjo, Kerajinan Tas, Jaket, Sepatu dan Sandal khas Sidoarjo, serta berbagai makanan olahan dari hasil tambak udang dan bandeng akan ikut mengalami peningkatan seiring dengan jumlah wisatawan yang terus bertambah. Selain itu kerusakan lingkungan tidak perlu dikhawatirkan karena ‘GERBANG WIENDU’ ini tentunya berbasis kepada penjagaan ekosistem lingkungan yang berkelanjutan.


[1] Luchman Hakim, Dasar - Dasar Ekowisata, Malang: Bayumedia, 2004, h. 53.
[2] Sugeng Budiharsono, Teknik Analisis Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan, Jakarta: Pradnya Paramita, 2005, h. 13.
[3] Ibid, h. 14.

Jumat, 31 Agustus 2012

Hukum Pengadaan Barang dan Jasa


Selayang Pandang Pengadaan Barang/ Jasa Dengan Cara Swakelola
Oleh: Tahegga Primananda Alfath, S.H.
A.    Pengertian
Pelaksanaan Pengadaan Barang/ Jasa menurut Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah (Perpres 54/2010) Pasal 3 dilakukan melalui Swakelola dan/ atau pemilihan Penyedian Barang/ Jasa. Pengertian Swakelola berdasarkan Pasal 1 Angka 20 dan Pasal 26 Ayat (1) Perpes 54/ 2010 merupakan kegiatan Pengadaan Barang/ Jasa dimana pekerjaannya direncanakan, dikerjakan dan/ atau diawasi sendiri oleh K/L/D/I[1] sebagai penanggung jawab anggaran, instansi pemerintah lain dan/ atau kelompok masyarakat.

B.     Penyelenggara Pekerjaan Swakelola
Pekerjaan Swakelola dapat dilaksanakan oleh:[2]
1.      K/L/D/I Penanggungjawab Anggaran dengan ketentuan sebagai berikut:
a)    direncanakan, dikerjakan dan diawasi sendiri oleh K/L/D/I Penanggung Jawab Anggaran; dan
b)   mempergunakan pegawai sendiri, pegawai K/L/D/I lain dan/atau dapat menggunakan tenaga ahli.[3] Jumlah tenaga ahli sebagaiamana dimaksud tidak boleh melebihi 50% (Lima Puluh Persen) dari jumlah keseluruhan pegawai K/L/D/I yang terlibat dalam kegiatan Swakelola yang bersangkutan.[4]
2.      Instansi Pemerintah Lain Pelaksana Swakelola dengan ketentuan sebagai berikut:
a)      direncanakan dan diawasi oleh K/L/D/I Penanggung Jawab Anggaran; dan
b)     pelaksanaan pekerjaannya dilakukan oleh instansi pemerintah yang bukan Penanggung Jawab Anggaran.
3.      Kelompok Masyarakat dengan ketentuan sebagai berikut:
a)         direncanakan, dilaksanakan dan diawasi oleh Kelompok Masyarakat;
b)        sasaran ditentukan oleh K/L/D/I Penanggung Jawab Anggaran; dan
c)         pekerjaan utama dilarang untuk dialihkan kepada pihak lain (subkontrak).
C.    Jenis Pekerjaan Swakelola
Jenis pekerjaan yang dapat dilakukan dengan cara Swakelola adalah sebagai berikut:
1.      Pekerjaan yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan dan/atau memanfaatkan kemampuan teknis sumber daya manusia serta sesuai dengan tugas pokok K/L/D/I, contoh: bimbingan teknis, workshop, dan lain-lain;
2.  Pekerjaan yang operasi dan pemeliharaannya memerlukan partisipasi langsung masyarakat setempat, contoh: perbaikan pintu irigasi/ pintu pengendalian banjir, dan lain-lain;
3.   Pekerjaan yang dilihat dari segi besaran, sifat, lokasi atau pembiayaannya tidak diminati oleh Penyedia Barang/Jasa, contoh: pemeliharaan rutin (skala kecil, sederhana), penanaman gebalan rumput dan lain-lain;
4.   Pekerjaan yang secara rinci/detail tidak dapat dihitung/ditentukan terlebih dahulu, sehingga apabila dilaksanakan oleh Penyedia Barang/Jasa akan menimbulkan ketidakpastian dan resiko yang besar. Contoh: pengangkutan/pengerukan sampah pada instalasi pompa, penimbunan daerah rawa dan lain-lain;
5.      Penyelenggaraan diklat, kursus, penataran, seminar, lokakarya atau penyuluhan, contoh: pelatihan keahlian/keterampilan, kursus pengadaan barang/jasa pemerintah dan lain-lain;
6.   Pekerjaan untuk proyek percontohan (pilot project) dan survey yang bersifat khusus untuk pengembangan teknologi/metode kerja yang belum dapat dilaksanakan oleh Penyedia Barang/Jasa, contoh: prototipe rumah tahan gempa, prototipe sumur resapan, dan lain-lain;
7.      Pekerjaan survey, pemrosesan data, perumusan kebijakan pemerintah, pengujian di laboratorium dan pengembangan sistem tertentu; contoh: penyusunan/pengembangan peraturan perundang-undangan dan lain-lain;
8.  Pekerjaan yang bersifat rahasia bagi K/L/D/I yang bersangkutan, contoh: pencetakan ijazah, pembangunan bangunan rahasia, dan lain-lain;
9.   Pekerjaan Industri Kreatif, inovatif dan budaya dalam negeri, contoh: pembuatan film animasi, pembuatan permainan interaktif dan lain-lain;
10.  Penelitian dan pengembangan dalam negeri, contoh: penelitian konstruksi tahan gempa dan lain-lain; dan/atau
11. Pekerjaan pengembangan industri pertahanan, industri alutsista dan industri almatsus dalam negeri, contoh: pengembangan senjata keperluan militer dan lain-lain.

D.    Prosedur Swakelola
Dalam Pasal 26 Ayat (3) Perpres 54/2010 dinyatakan bahwa prosedur Swakelola itu meliputi kegiatan perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, penyerahan, pelaporan, dan pertanggungjawaban pekerjaan.
1.      Kegiatan Perencanaan
Kegiatan perencanaan Swakelola meliputi:[5]
a.   penetapan sasaran, rencana kegiatan dan jadwal pelaksanaan;
b.  penyusunan jadwal pelaksanaan dengan mempertimbangkan waktu yang cukup bagi pelaksanaan pekerjaan/ kegiatan. Penyusunan jadwal kegiatan Swakelola dilakukan dengan mengalokasikan waktu untuk proses perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, penyerahan dan pelaporan pekerjaan;
c. perencanaan teknis dan penyiapan metode pelaksanaan yang tepat agar diperoleh rencana keperluan tenaga, bahan dan peralatan yang sesuai;
d.  penyusunan rencana keperluan tenaga, bahan dan peralatan secara rinci serta dijabarkan dalam rencana kerja bulanan, rencana kerja mingguan dan/atau rencan kerja harian; dan
e.   penyusunan rencana total biaya secara rinci dalam rencana biaya bulanan dan/atau biaya mingguan yang tidak melampaui Pagu Anggaran yang telah ditetapkan dalam dokumen anggaran.
Perencanaan kegiatan Swakelola dapat dilakukan dengan memperhitungkan tenaga ahli/peralatan/bahan tertentu yang dilaksanakan dengan Kontrak/Sewa tersendiri. Kegiatan perencanaan Swakelola dimuat dalam Kerangka Acuan Kerja (KAK).[6] Perencanaan kegiatan Swakelola yang diusulkan dan dilaksanakan oleh Kelompok Masyarakat Pelaksana Swakelola, ditetapkan oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK)[7] setelah melalui proses evaluasi. Pengguna Anggaran/ Kuasa Pengguna Anggaran (PA/KPA)[8] bertanggung jawab terhadap penetapan Kelompok Masyarakat Pelaksana Swakelola termasuk sasaran, tujuan dan besaran anggaran Swakelola. PA/KPA dapat mengusulkan standar biaya untuk honorarium pelaksana Swakelola kepada Menteri Keuangan/Kepala Daerah. Masa Kadaluwarsa Swakelola adalah dapat dilaksanakan melebihi 1 (satu) Tahun Anggaran.
2.      Pelaksanaan Swakelola
Pelaksanaan Swakelola Terbagi menjadi 3 (tiga) pelaksanaan, oleh K/L/D/I selaku Penanggung Jawab Anggaran, oleh Instansi Pemerintah lain pelaksana Swakelola, oleh Kelompok Masyarakat Pelaksana Swakelola.
Pengadaan Barang/Jasa melalui Swakelola oleh K/L/D/I selaku Penanggung Jawab Anggaran dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:[9]
a.    pengadaan bahan/barang, Jasa Lainnya, peralatan/suku cadang dan tenaga ahli dilakukan oleh ULP/Pejabat Pengadaan;
b.    pengadaan sebagaimana dimaksud pada huruf a berpedoman pada ketentuan dalam Peraturan Presiden ini;
c.    pembayaran upah tenaga kerja yang diperlukan dilakukan secara berkala[10] berdasarkan daftar hadir pekerja atau dengan cara upah borongan;
d.   pembayaran gaji tenaga ahli yang diperlukan dilakukan berdasarkan Kontrak;
e.    penggunaan tenaga kerja, bahan dan/atau peralatan dicatat setiap hari dalam laporan harian;
f.     pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa yang menggunakan Uang Persediaan (UP)/Uang Muka kerja atau istilah lain yang disamakan dilakukan oleh Instansi Pemerintah pelaksana Swakelola;
g.    UP/Uang Muka kerja atau istilah lain yang disamakan, dipertanggungjawabkan secara berkala maksimal secara bulanan;
h.    kemajuan fisik dicatat setiap hari dan dievaluasi setiap minggu yang disesuaikan dengan penyerapan dana;
i.      kemajuan non fisik atau perangkat lunak dicatat dan dievaluasi setiap bulan yang disesuaikan dengan penyerapan dana; dan
j.      pengawasan pekerjaan fisik di lapangan dilakukan oleh pelaksana yang ditunjuk oleh PPK, berdasarkan rencana yang telah ditetapkan.

Pengadaan melalui Swakelola oleh Instansi Pemerintah lain pelaksana Swakelola dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:[11]
a.  Pelaksanaan dilakukan berdasarkan Kontrak antara PPK pada K/L/D/I Penanggung Jawab Anggaran dengan pelaksana Swakelola pada Instansi Pemerintah lain pelaksana Swakelola.[12]
b.   pengadaan bahan, Jasa Lainnya, peralatan/suku cadang dan tenaga ahli yang diperlukan dilakukan oleh ULP/Pejabat Pengadaan pada Instansi Pemerintah lain pelaksana Swakelola;
c.  pengadaan sebagaimana dimaksud pada huruf b berpedoman pada ketentuan dalam Perpres 54/2010;
d.   pembayaran upah tenaga kerja yang diperlukan dilakukan secara harian berdasarkan daftar hadir pekerja atau dengan cara upah borongan;
e.    pembayaran imbalan tenaga ahli yang diperlukan dilakukan berdasarkan Kontrak;
f.  penggunaan tenaga kerja, bahan/barang dan/atau peralatan dicatat setiap hari dalam laporan harian;
g. kemajuan fisik dicatat setiap hari dan dievaluasi setiap minggu yang disesuaikan dengan penyerapan dana oleh Instansi Pemerintah lain pelaksana Swakelola;
h.  kemajuan non fisik atau perangkat lunak dicatat dan dievaluasi setiap bulan yang disesuaikan dengan penyerapan dana oleh Instansi Pemerintah lain pelaksana Swakelola; dan
i.    pengawasan pekerjaan fisik di lapangan dilaksanakan oleh pihak yang ditunjuk PPK pada K/L/D/I Penanggung Jawab Anggaran, berdasarkan rencana yang telah ditetapkan.

Pengadaan secara Swakelola oleh Kelompok Masyarakat Pelaksana Swakelola dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:[13]
a.   pelaksanaan Swakelola oleh Kelompok Masyarakat Pelaksana Swakelola dilakukan berdasarkan Kontrak antara PPK pada K/L/D/I Penanggung Jawab Anggaran dengan Kelompok Masyarakat Pelaksana Swakelola;[14]
b. pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa hanya diserahkan kepada Kelompok Masyarakat Pelaksana Swakelola yang mampu melaksanakan pekerjaan;
c. pengadaan Pekerjaan Konstruksi hanya dapat berbentuk rehabilitasi, renovasi dan konstruksi sederhana;[15]
d.  konstruksi bangunan baru yang tidak sederhana,[16] dibangun oleh K/L/D/I Penanggung Jawab Anggaran untuk selanjutnya diserahkan kepada kelompok masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
e.   pengadaan bahan/barang, Jasa Lainnya, peralatan/suku cadang dan tenaga ahli yang diperlukan dilakukan oleh Kelompok Masyarakat Pelaksana Swakelola dengan memperhatikan prinsip-prinsip pengadaan dan etika pengadaan sebagaimana diatur dalam Perpres 54/ 2010;
f.     penyaluran dana kepada Kelompok Masyarakat Pelaksana Swakelola dilakukan secara bertahap dengan ketentuan sebagai berikut:
1)  40% (empat puluh perseratus) dari keseluruhan dana Swakelola, apabila Kelompok Masyarakat Pelaksana Swakelola telah siap melaksanakan Swakelola;
2)   30% (tiga puluh perseratus) dari keseluruhan dana Swakelola, apabila pekerjaan telah mencapai 30% (tiga puluh perseratus); dan
3)   30% (tiga puluh perseratus) dari keseluruhan dana Swakelola, apabila pekerjaan telah mencapai 60% (enam puluh perseratus).
g. pencapaian kemajuan pekerjaan dan dana Swakelola yang dikeluarkan, dilaporkan oleh Kelompok Masyarakat Pelaksana Swakelola secara berkala kepada PPK;
h.   pengawasan pelaksanaan pekerjaan dilakukan oleh Kelompok Masyarakat Pelaksana Swakelola; dan
i.     pertanggungjawaban pekerjaan/kegiatan Pengadaan disampaikan kepada K/L/D/I pemberi dana Swakelola sesuai ketentuan perundang-undangan.
3.      Pengawasan, Pelaporan, dan Pertangungjawaban Swakelola.
Pengawasan, Pelaksanaan Swakelola diawasi oleh Penanggung Jawab Anggaran atau oleh Kelompok Masyarakat Pelaksana Swakelola. Pelaporan, Kemajuan pelaksanaan pekerjaan dan penggunaan keuangan dilaporkan oleh pelaksana lapangan/Pelaksana Swakelola kepada PPK secara berkala. Laporan kemajuan realisasi fisik dan keuangan dilaporkan setiap bulan secara berjenjang oleh Pelaksana Swakelola sampai kepada PA/KPA. Pertangungjawaban Swakelola, Aparat Pengawas Intern Pemerintah atau pengawas intern pada institusi lain (APIP)[17] pada K/L/D/I Penanggung Jawab Anggaran melakukan audit terhadap pelaksanaan Swakelola.


Sumber:
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah.


[1] K/L/D/I merupakan kepanjangan dari Kementerian/ Lembaga/ Satuan Kerja Perangkat Daerah/ Institusi lainnya, adalah instansi/ institusi yang menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan/ atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). (Lihat dalam Pasal 1 Angka 2 Peraturan Prsiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah).
[2] Lihat Pasal 26 Ayat (4) Peraturan Prsiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah.
[3] Yang dimaksud dengan tenaga ahli adalah konsultan.
[4] Lihat Pasal 27 Ayat (2) Peraturan Prsiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah.
[5] Lihat Pasal 28 Ayat (1) Peraturan Prsiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah.
[6] Berdasarkan Pasal 22 Ayat (4) Peraturan Prsiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah. KAK paling sedikit memuat: uraian kegiatan yang akan dilaksanakan; waktu pelaksanaan yang diperlukan; spesifikasi teknis Barang/Jasa yang akan diadakan; dan besarnya total perkiraan biaya pekerjaan.
[7] Berdasarkan pasal 1 Angka 7 Peraturan Prsiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah, PPK adalah pejabat yang bertanggung jawab atas pelaksanaan barang/ jasa.
[8] Berdasarkan Pasal 1 Angka 5 Peraturan Prsiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah, Pengguna Anggaran (PA) adalah Pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran Kementerian/ Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah atau Pejabat yang disamakan pada Institusi lain Pengguna APBN/APBD. Sedangkan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) berdasarkan Pasal 1 Angka 6 Peraturan Prsiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah, adalah pejabat yang ditetapkan oleh PA untuk menggunakan APBN atau ditetapkan oleh Kepala Daerah untuk menggunakan APBD.
[9] Lihat Pasal 29 Peraturan Prsiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah.
[10] Pembayaran secara berkala dapat dilakukan secara harian, mingguan, bulanan sesuai dengan kesepakatan kerja. Pembayaran dengan upah borongan dilakukan tanpa menggunakan daftar hadir sesuai dengan kesepakatan kerja
[11] Lihat Pasal 30 Peraturan Prsiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah.
[12] Kontrak antara PPK pada K/L/D/I Penanggung Jawab Anggaran dengan pelaksana Swakelola pada Instansi Pemerintah Lain Pelaksana Swakelola dapat didahului dengan Nota Kesepahaman antara K/L/D/I Penanggung Jawab Anggaran dengan Instansi Pemerintah Lain Pelaksana Swakelola.
[13] Lihat Pasal 31 Peraturan Prsiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah.
[14] Kontrak antara PPK pada K/L/D/I Penanggung Jawab Anggaran dengan Kelompok Masyarakat Pelaksana Swakelola dapat didahului dengan Nota Kesepahaman antara K/L/D/I Penanggung Jawab Anggaran dengan Kelompok Masyarakat Pelaksana Swakelola.
[15] Yang dimaksud dengan rehabilitasi, renovasi dan konstruksi sederhana antara lain pengecatan, pembuatan/ pengerasan jalan lingkungan.
[16] Bangunan baru yang tidak sederhana antara lain konstruksi bangunan gedung yang melebihi 1 (satu) lantai.
[17] Berdasarkan Pasal 1 Angka 11 Peraturan Prsiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah. APIP adalah aparat yang melakukan pengawasan melalui audit, reviu, evaluasi, pemantauan dan kegiatan pengawasan lain terhadap penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi.