ada diatas awan dan elok dipandang
rapi menawan besar harapan
meramu gairah mencapai asa
Itu sebuah idealis..
menanjak jalan terjal, menuruni tebing curam
peluh keringat bercucuran sindiran berdatangan
tantangan siap menghadang
ini sebuah realitas..
maka hitam dan putih kah itu dan ini?
berdiri sendiri tanpa pernah bertemu dan berpadu
itu menyombong dan ini pasrah tak berdaya
tidakkah ada jembatan yang menghubungkannya..
kalaupun ada kokohkah dia menerjang arus ini..
atau roboh belum waktunya seperti jembatan kertanegara
bertanya pada diri sendiri tentang itu atau ini
mencari dan terus mencari..
berkelana ke ujung bumi..
menyelami ke dasar palung..
terbang ke ujung langit...
niscaya tak kan kamu temui
karena apa yang kamu cari ada pada dirimu sendiri
Selasa, 06 Desember 2011
Jumat, 16 September 2011
Selayang Pandang Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Pasca Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Oleh:
Tahegga Primananda Alfath
Dewan Perwakilan Daerah secara kelembagaan merupakan
sebuah lembaga Negara baru yang terbentuk dari amandemen ketiga dan keempat
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dasar pembentukan
lembaga ini adalah perubahan ketiga UUD NRI Tahun 1945 yakni pasal 22C, 22D dan
22 E. dalam dinamika perubahan keempat DPD secara kewenangannya mendapatkan
sebuah pengaturan baru, yakni diaturnya DPD sebagai bagian dari MPR. Pengaturan
tersebut dapat dilihat dalam pasal 2 ayat (1) dimana disebutkan secara jelas
bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang
dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan Undang-undang[1].
Secara historis pengaturan kelembagaan DPD tidak dapat
dipisahkan dari keberadaan utusan golongan pada masa Orde Baru. Kiprah adanya
utusan golongan dalam tubuh MPR tersebut didasari oleh sebuah pemikiran
filosofis bahwa dalam MPR, keberadaan lembaga yang mewakuli kepentingan daerah
secara wilayah, sebagai pencerminan dari penyuara kepentingan daerah dalam
penentuan arah kebijakan Negara.[2] Namun pembentukan kebijakan tersebut, oleh sebagian kalangan
dianggap tidak cukup menggambarkan tujuan pembentukan secara nyata. Hal
tersebut dapat dilihat ketika keberadaan utusan golongan dalam tubuh MPR juga
tak dapat dipisahkan dari kecenderungan wakil-wakil utusan daerah yang tak terlepaskan
dari afiliasi terhadap partai politik. Hal tersebut sekali lagi tak dapat
dipisahkan dari resistensi partai politik dalam masa Orde Baru.[3]
Arus reformasi yang bergenderang kencang dipenghujung
tahun 1998, selaras memunculkan semangat perubahan konstitusi sebanyak empat
kali. Perubahan tersebut pada akhirnya mengarahkan pembentukan kelembagaan DPD
dalam konstitusi sebagai mana yang dijabarkan diatas, dan secara dasar
pembentukannya lembaga ini nantinya diharapkan menjadi pemecah kebuntuan
terhadap permasalahan yang muncul di tengah realiata keberadaan utusan daerah
dalam tubuh MPR.
Dalam dinamika ketatanegaraan di
Indonesia, DPD merupakan satu lembaga Negara di Indonesia yang seyogyanya dapat
mengambil peran yang strategis dan optimal dalam perwujudan kesinambungan
fungsi kelembagaan. Namun realita yang ada, DPD sebagai representasi masyarakat
di daerah hingga saat ini belum mampu berperan secara dinamis, bahkan
kewenangan dan fungsi yang tersemat pada DPD tak ubahnya seuah formalitas yang
tidak berarah. Hal tersebut dapat dilihat dari kondisi DPD secara kelembagaan
itu sendiri, baik secara normatif yang termaktub dalam UUD NRI Tahun 1945
maupun secara etikat baik para elit untuk menuntaskan permasalahan ini.
DPD
Menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
DPD menurut ketentuan Pasal 22D UUD
NRI Tahun 1945 (a) mengajukan rancangan Undang-Undang tertentu kepada DPR (ayat
1), (b) Ikut memebahas rancangan undang-undang tertentu (ayat 2), (c)
memeberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan Undang-Undang APBN dan
rancangan undang-undng tertentu (ayat 2), (d) dapat melakukan pengawasan atas
pelaksanaan Undang-Undang teretentu (ayat 3). Dengan kata lain, DPD hanya
memeberikan masukan, sedangkan yang memutuskan adalah DPR, sehingga DPD ini lebih
tepat disebut sebagai Dewan Pertimbangan DPR, karena kedudukannya hanya
memeberikan pertimbangan kepada DPR.[4]
Berdasarkan pasal 223 Undang-Undang
Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah disebut
bahwa DPD memeiliki fungsi:
1. Pengajuan usul kepada DPR mengenai rancangan
undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,
pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya
alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan
keuangan pusat dan daerah;
2. Ikut dalam pembahasan rancangan undang-undang yang
berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran
serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah;
3. Pemeberian pertimbangan kepada DPR atas rancangan
undang-undang tentang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan
undang-undang uang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama; dan
4. Pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai
otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat
dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya,
pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama.
Dalam ketentuan UUD NRI tahun 1945
pasca amandemendan Undang-Undnag No. 27 Tahun 2009, terlihat jelas bahwa DPD
tidak mempunyai kewenangan untuk memebentuk undang-undang secara mandiri. Namun
dibidang pengawasan, khusus berkaitan dengan kepentingan daerah dan pelaksanaan
undnag-undnag teretentu, DPD dapat dikatakan mempunyai kewenangan penuh untuk
melakukan pengawasan terhadap kinerja pemerintahan, oleh karena itu di bidang
legislasi, kedudukan DPD lebih bersifat penunjang atau auxillary terhadap fungsi DPR, sehingga DPD disebut juga co-legislator dari legislator sepenuhnya
(DPR). Oleh karena itu DPD dapat lebih berkonsentrasi dibidang pengawasan
sehingga keberadaannya dapat dirasakan efektifitasnya oleh masyarakat di
daerah-daerah.[5]
Pengaturan
tentang lembaga DPD tidak dilakukan dengans epenuh hati, dalam arti kewenangan
DPD tidak semuanya terakomodasi dalam amanedemen UUD NRI Tahun 1945. Beberapa
kewenangan yang dimiliki DPD tidak maksimal sehingga menjadikan lembaga ini
tidak dapat berperan seperti yang diharapkan.Pembatasan kewenangan tersebut
terbukti menyulitkan DPD dalam menjalankan fungsi dan perannya. Sebagai wakil
daerah dalam pengambilan kebiajkaan pemerintahan di tingkat nasional.
DPD tidak memepunyai hak inisiatif
sendiri untuk mengajukan rancangan undang-undang, karena harus melalui DPR yang
berarti kesemuanaya wewenang penuh di DPR. Eksistensi DPD hanya berada di abwah
perintah DPR. Oleh karena itu, tidak salah jika ada yang berpendapat bahwa
fungsi dan peran DPD hanya sebagai biro perancang undang-undang bagi DPR atau
sekelas Badan Legislasi di DPR.
Dalam melaksanakan fungsi sebagai representasi darah, DPD diberikan
beberapa kewenangan oleh Konstitusi Negara yang terjawantahkan dalam pasal 22 C
dan 22 D. Terlepas dari beberapa nada sumbang yang mempertentangkan lemahnya
kewenangan DPD dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, pada satu sektor,
kewenangan DPD akan pengawasan terhadap Undang-undang merupakan satu peran
vital, yang seyogyanya dapat dijalankan dengan baik dan secara optimal.
Dalam Pasal 22 D
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, secara jelas
dituangkan bahwa;
“Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan
pengawasan terhadap Undang-undang, mengenai: Otonomi Daerah, Hubungan Pusat dan
Daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, pengelolaan Sumber Daya
Alam dan Sumber daya Ekonomi lainnya, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara,
pajak, pendidikan dan agama, serta menyampaikan hasil pengawasan itu kepada DPR
sebagai bahan pertimbangan untuk ditindak lanjuti”.
Secara umum, rumusan pasal tersebut, telah mengandung implikasi
logis terhadap kewenangan dalam persoalan pengawasan terhadap Undang-undang.
Kewenangan terhadap
pelaksanaan pengawasan terhadap Undang-undang tersebut di satu sisi dapat
dianalisa merupakan sebuah unsure pelemah kewenangan kelembagaan DPD itu
sendiri. Dalam perspektif pengaturan dalam konstitusi sendiri, apabila ditelaah
mengandung aturan yang bersifat imperatif (tidak mewajibkan). Redaksi “dapat”
yang melekat pada kewenangan yang termaktub dalam rumusan pasal 22 D tersebut
terkesan mengambang. Belum lagi ketika permasalahan tersebut dikaitkan dengan
alur mekanisme ketika proses pengawasan tersebut telah dijalankan oleh DPD.[6]
Alur mekanisme
hasil pengawasan yang telah dilakukan oleh DPD tersebut, dalam konstitusi
dilanjutkan dengan DPD menyampaikan hasil tersebut kepada DPR. Alur tersebut
kembali seakan melemahkan posisi DPD, ketika dalam lanjutan pasal 22 D tersebut
dijelaskan bahwa hasil pengawasan nantinya dijadikan bahan pertimbangan DPR
untuk ditindak lanjuti. Proses menindaklanjuti hasil pengawasan ini lah yang
sarat menimbulkan permasalahan, bagaimana peran DPD sangat lemah dalam alur
pelaksanaan proses pengawasan tersebut.
Dalam tata tertib
DPR mengenai aturan alur progress proses pengawasan Undang-undang, diatur bahwa
ketika hasil pengawasan tersebut telah diberikan oleh DPD kepada DPR, hasil
tersebut dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dan masukan bagi DPR dan
dapat ditindaklanjuti, tanpa diatur mengenai kewajiban apa mengenai proses
penindaklanjutan hasil pengawasan yang telah dilakukan oleh DPD. Ironisnya, DPR
tidak dipersalahkan, dalam arti tidak ada konsekuensi hukum ketika DPR tidak
menindaklanjuti hasil pengawasan terhadap Undang-undang yang diberikan oleh
DPD. Dalam tata tertib DPR hanya diatur, ketika DPR tidak menindaklanjuti hasil
tersebut, DPD dapat meminta penjelasan kepada pimpinan DPR, dan DPD mendapatkan
penjelasan secara tertulis dari DPR.[7]
Berbagai
permasalahan kompleks tersebut secara logis mengarahkan kepada kiprah DPD dalam
sistem ketatanegaraan Indonesia. Keoptimalan dilembagakannya DPD sebagai
penjelmaan representasi kepentingan daerah masih perlu dikaji lebih dalam,
dengan memperhatikan faktor terkait baik dalam politik pembentukannya hingga
pengaturan dalam konstitusi yang dirasa kian memberatkan posisi DPD itu
sendiri. Perlu kiranya dikaji ulang mengenai eksistensi keberadaan lembaga DPD.
Tentu saja hal tersebut juga patut didasari oleh sebuah penegasan arah
kelembagaan khususnya sistem parlemen yang akan dianut oleh Indonesia.
Dalam
Pasal 22D ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang berbunyi:
“Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan
undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,
pemebntukan, pemekaran dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam
dan sumber daya ekonomi lainnya, serta pertimbangan keuangan pusat dan daerah serta memeberikan
pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang
anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang
berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama.
Dengan demikian hal tersebut lebih mengekerdilkan
posisi DPD karena hanya ikut memebahas rancangan undang-undang teretntu, serta
memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang yang berkaitan
dengan APBN, Pajak, Pendidikan dan agama. Berarti DPD tidak punya kewenangan
mandiri untuk memebahas suatu rancangan undang-undang. Keikutsertaan DPD dalam
membahas rancangan undang-undnag teretentu tergantung pada adanya undangan dari
DPR dan hanya sebatas pada pembicaraan tingkat pertama.
Makna pemeberian pertimbangan itu berarti tidak mengikat semuanya
tergantung pada pihak yang menerima pertimbangan. Apalagi pertimbangan tersebut
diberikan secara tertulis hanya sekedar dijadikan bahan oleh DPR dalam
melakukan pembahasan rancangan undang-undang dengan pemerintah.
[1] Sirajudin dkk. Membangun
Konstituen Meeting: Memperkuat Kepentingan Daerah dengan Keterbatasan Wewenang
DPD. Malang: MCW. 2006
[2] www.kompas.com
[3] Ibid
[4] Isrok, Hukum Tata Negara ’knowladge for what
wetenschap voor de praktijk’ (Ilmu Pengetahuan harus Praktis dan Pragmatis
Salah satu syarat Ilmu Pengetahuan ), Malang: Penerbit Fakultas Pertanian
Universitas Brawijaya, 2008, hal 127
[5] Ibid. Hal 182.
Efektivitas Hukum dalam Masyarakat (Prespektif Sosiologi Hukum)
Oleh Tahegga Primananda Alfath
A.
Pendahuluan
Masyarakat memerlukan
sebuah aturan untuk menciptakan suatu suasana yang harmonis didalam
kehidupannya. Aturan tersebut berupa hukum, hukum yang ada dapat merupakan
hukum tertulis atau tak tertulis. Hukum yang ada dalam masyarakat ini hendaknya
memiliki sebuah dasar hukum yang menjiwai dari keadaan seluruh masyarakaat,
memiliki fungsi yang ideal dengan memiliki unsur keadilan, kepastian dan
kemanfaatan bagi masyarakat.
Dibuatnya suatu produk
hukum yang nantinya akan hidup bersama didalam masyarakat, maka hukum yang
dibuat itu memiliki suatu sifat dinamis yang berarti mengikuti perkembangan
dari masyarakat. Sehingga adanya sebuah sosiologi hukum itu merupakan ilmu
pengetahuan tentang interaksi manusia yang berkaitan dengan hukum didalam
kehidupan masyarakat. Nantinya dengan adanya sosiologi hukum ini maka akan
diharapkan sebuah kemanfaatan didalamnya, sehingga kita dapat mengetahui dan
memahami bagaimana perkembangan hukum yang ada didalam masyarakat, mengetahui
efektivitas hukum dalam masyarakat, mampu untuk menganalisa penerapan hukum
yang ada didalam masyarakat, dapat mengkonstruksikan fenomena hukum yang
terjadi di masyarakat, dan mampu memetakan masalah-masalah sosial dalam kaitan
dengan penerapan hukum di dalam masyarakat.
Hukum yang dibuat dan
nantinya akan berlaku di masyarakat hendaknya mampu berlaku secara efektif.
Sehingga tidak terjadi suatu pemborosan atau yang nantinya menimbulkan
ketidakpastian hukum didalam masyarakat. Maka hendaknya ketika hukum didalam
suatu masyarakat itu akan dibuat maka memperhatikan berbagai aspek-aspek yang
ada di masyarakat. Untuk mampu mengetahui bagaimana efektivitas hukum didalam
sebuah prespektif sosiologi hukum mampu diterapkan. Maka dalam tulisan ini akan
menjeaskan berkaitan dengan hal tersebut.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
prespektif sosiologi hukum untuk menciptakan efektivitas hukum di dalam
masyarakat?
C.
Pembahasan
Sebelum membahas lebih
jauh mengenai efektivitas hukum didalam masyarakat, penulis ingin menjelaskan
metode penelitian yang digunakan didalam menganalisa dan memaparkan
permasalahan tersebut. Jenis penelitian ini adalah penelitian normatif dengan
menggunakan pendekatan analitis (analytical
aproach) yaitu dengan menganalisa teori-teori berkaitan dengan efektivitas
hukum serta sosiologi hukum. Data primer yang penulis gunakan adalah
artikel-artikel dari media cetak maupun elektronik yang berkaitan dengan
evektifitas hukum dan sosiologi hukum serta
pendapat para ahli, praktisi dan subyek hukumnya.
Teknik penulisan yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif dengan
menguraikan, menjabarkan, dan merangkai konsep maupun teori yang digunakan
menjadi untaian kata-kata dalam setiap bagian pembahasannya. Sedangkan untuk
teknik analisis bahan dilakukan dengan cara bahan-bahan tersebut dikategorikan,
disusun secara sistematis, analisis bahan digunakan untuk menyusun secara
sistematis data yang telah diperoleh, menurut Nazir dengan menganalisa data
yang ada maka akan diperoleh pemecahan masalah dalam penelitian.[1]
Seringkali kita
mengetahui bahwa di dalam masyarakat, hukum yang telah dibuat ternyata tidak
efektif didalamnya. Menurut Dr. Syamsuddin Pasamai, SH., MH., dalam bukunya
Sosiologi dan Sosiologi Hukum, persoalan efektifitas hukum mempunyai hubungan
yang sangat erat dengan persoalan penerapan, pelaksanaan dan penegakan hukum
dalam masyarakat demi tercapainya tujuan hukum. Artinya hukum benar-benar
berlaku secara filosofis, yuridis dan sosiologis.[2]
Dalam sosiologi hukum,
hukum memiliki fungsi sebagai sarana social
control yaitu upaya untuk mewujudkan kondisi
seimbang di dalam masyarakat, yang bertujuan terciptanya suatu keadaan yang
serasi antara stabilitas dan perubahan di dalam masyarakat. Selain itu hukum
juga memiliki fungsi lain yaitu sebagai sarana social engineering yang maksudnya adalah sebagai sarana pembaharuan
dalam masyarakat. Hukum dapat berperan dalam mengubah pola pemikiran masyarakat
dari pola pemikiran yang tradisional ke dalam pola pemikiran yang rasional atau
modern.
Efektivikasi hukum merupakan proses yang bertujuan agar supaya hukum
berlaku efektif. Keadaan tersebut dapat ditinjau atas dasar beberapa tolok ukur
efektivitas. Menurut Soerjono Soekanto bahwa faktor tersebut ada lima,
yaitu :
1. Hukumnya sendiri.
2. Penegak hukum.
3. Sarana dan
fasilitas.
4. Masyarakat.
5. Kebudayaan.
Faktor Hukum
Hukum berfungsi untuk
keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Dalam praktik penyelenggaraan hukum di
lapangan ada kalanya terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan.
Kepastian Hukum sifatnya konkret berwujud nyata, sedangkan keadilan bersifat
abstrak sehingga ketika seseorang hakim memutuskan suatu perkara secara
penerapan undang-undang saja maka ada kalanya nilai keadilan itu tidak
tercapai. Maka ketika melihat suatu permasalahan mengenai hukum setidaknya
keadilan menjadi prioritas utama. Karena hukum tidaklah semata-mata dilihat
dari sudut hukum tertulis saja, Masih banyak aturan-aturan yang hidup dalam
masyarakat yang mampu mengatur kehidupan masyarakat. Jika hukum tujuannya hanya
sekedar keadilan, maka kesulitannya karena keadilan itu bersifat subjektif,
sangat tergantung pada nilai-nilai intrinsik subjektif dari masing-masing
orang. Menurut Prof. Dr. Achmad Ali apa yang adil bagi si Baco belum tentu di
rasakan adil bagi si Sangkala.
Mengenai faktor hukum
dalam hal ini dapat diambil contoh pada pasal 363 KUHP yang perumusan tindak
pidananya hanya mencantumkan maksimumnya sajam, yaitu 7 tahun penjara sehingga
hakim untuk menentukan berat ringannya hukuman dimana ia dapat bergerak dalam
batas-batas maksimal hukuman.
Oleh karena itu, tidak menutup kemungkinan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku kejahatan itu terlalu ringan, atau terlalu mencolok perbedaan antara tuntutan dengan pemidanaan yang dijatuhkan. Hal ini merupakan suatu penghambat dalam penegakan hukum tersebut.
Oleh karena itu, tidak menutup kemungkinan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku kejahatan itu terlalu ringan, atau terlalu mencolok perbedaan antara tuntutan dengan pemidanaan yang dijatuhkan. Hal ini merupakan suatu penghambat dalam penegakan hukum tersebut.
Faktor Penegak Hukum
Dalam berfungsinya
hukum, mentalitas atau kepribadian petugas penegak hukum memainkan peranan
penting, kalau peraturan sudah baik, tetapi kualitas petugas kurang baik, ada
masalah. Oleh karena itu, salah satu kunci keberhasilan dalam penegakan hukum
adalah mentalitas atau kepribadian penegak hukum dengan mengutip pendapat J. E.
Sahetapy yang mengatakan :
“Dalam
rangka penegakan hukum dan implementasi penegakan hukum bahwa penegakan
keadilan tanpa kebenaran adalah suatu kebijakan. Penegakan kebenaran tanpa
kejujuran adalah suatu kemunafikan. Dalam kerangka penegakan hukum oleh setiap
lembaga penegakan hukum (inklusif manusianya) keadilan dan kebenaran harus
dinyatakan, harus terasa dan terlihat, harus diaktualisasikan”.[3]
Di dalam konteks di
atas yang menyangkut kepribadian dan mentalitas penegak hukum, bahwa selama ini
ada kecenderungan yang kuat di kalangan masyarakat untuk mengartikan hukum
sebagai petugas atau penegak hukum, artinya hukum diidentikkan dengan tingkah
laku nyata petugas atau penegak hukum. Sayangnya dalam melaksanakan wewenangnya
sering timbul persoalan karena sikap atau perlakuan yang dipandang melampaui
wewenang atau perbuatan lainnya yang dianggap melunturkan citra dan wibawa
penegak hukum, hal ini disebabkan oleh kualitas yang rendah dari aparat penegak
hukum tersebut.
Apalagi seperti yang
kita ketahui bersama terkait masalah persetruan dua lembaga penegak hukum KPK
dengan Kepolisian telah membuat citra aparaturnya menjadi buruk dihadapan
masyarakat. Ditambah pula dengan banyaknya kasus-kasus yang seharusnya dihukum
berat namun dapat diperingan karena dibantu oleh mafia hukum, yaitu muali
tingkat penyidikan di kepolisian hingga saat penuntutan di kejaksaan dan
putusan di kehakiman. Mental Para aparatur penegak hukum inilah menjadi salah
satu faktor dimana efektivitas hukum itu dapat terwujud, selama kemapuan dan
kewenangan mereka dapat dibeli, yang benar disalahkan dan yang salah dibenarkan
akan terjadi inefektivitas hukum dan mampu mengakibatkan masyarakat tidak
percaya lagi dengan penegak hukum bahkan hukumnya sendiri.
Kemudian meurut Prof.
Dr. Achmad Ali, SH., MH., dalam bukunya menjelajahi kajian empiris terhadap
hukum, disebutkan Polisilah yang berada pada garda terdepan. Karena polisi yang
paling banyak berhubungan langsung dengan warga masyarakat, dibandingkan dengan
penegak hukum lainnya. Oleh karena itu sikap dan keteladanan personal kepolisian
menjadi salah satu faktor dihargai atau tidaknya mereka oleh warga masyarakat
terhadap penegak hukum, yang cukup berpengaruh terhadap ketaatan mereka. Olehnya
itu, kualitas dan keberdayaan Polisi menurut Prof. Dr. Achmad Ali, SH., MH.,
merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan efektif atau tidaknya
ketentuan hukum yang berlaku.
Faktor Sarana
dan Fasilitas
Sarana yang ada di Indonesia sekarang ini
memang diakui masing cukup tertinggal jika dibandingkan dengan negara-negara
maju yang memiliki sarana lengkap dan teknologi canggih di dalam membantu
menegakkan hukum. Menurut Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah pernah
mengemukakan bahwa bagaimana polisi dapat bekerja dengan baik, apabila tidak
dilengkapi dengan kendaraan dan alat-alat komunikasi yang proporsional. Oleh
karena itu, sarana atau fasilitas mempunyai peranan yang sangat penting di
dalam penegakan hukum. Tanpa adanya sarana atau fasilitas tersebut, tidak akan
mungkin penegak hukum menyerasikan peranan yang seharusnya dengan peranan yang
aktual. Namun penulis berpendapat bahwa faktor ini tidaklah menjadi fakor yang
dominan untuk segera diperbaiki ketika ingin terwujudnya suatu efektivitas
hukum.
Faktor Masyarakat
Masyarakat dalam hal ini menjadi suatu
faktor yang cukup mempengaruhi juga didalam efektivitas hukum. Apabila masyarakat
tidak sadar hukum dan atau tidak patuh hukum maka tidak ada keefektifan. Kesadaran hukum merupakan konsepsi abstrak didalam
diri manusia, tentang keserasian antara ketertiban dan ketentraman yang
dikehendaki atau sepantasnya. Kesadaran hukum sering dikaitkan dengan pentaatan
hukum, pembentukan hukum, dan efektivitas hukum. Kesadaran hukum merupakan
kesadaran atau nilai-nilai yang terdapat dalam manusia tentang hukum yang ada
atau tentang hukum yang diharapkan.[4]
Sebagai contoh. Disuatu daerah Kabupaten
L masyarakat tahu bahwa ketika berkendara di jalan raya itu harus mengunakan
helm untuk keselamatan, tapi masyarakat sekitar tersebut tidak menghiraukan
peraturan tersebut justru mereka tidak menggunakan helm tersebut.
Selain itu perlu ada pemerataan mengenai
peraturan-peraturan keseluruh lapisan masyarakat, selama ini terkendala faktor
komunikasi maupun jarak banyak daerah yang terpencil kurang mengetahui akan
hukum positif negara ini. Sehingga sosialisasi dan penyuluhan di daerah
terpencil sangat dibutuhkan, berbeda dengan kondisi daerah perkotaan yang mampu
selalu up date berkaitan dengan
isu-isu strategis yang masih hangat.
Faktor Kebudayaan
Kebudayaan menurut Soerjono Soekanto,
mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia dan masyarakat, yaitu mengatur
agar manusia dapat mengerti bagaimana seharusnya bertindak, berbuat, dan
menentukan sikapnya kalau mereka berhubungan dengan orang lain. Dengan
demikian, kebudayaan adalah suatu garis pokok tentang perikelakuan yang
menetapkan peraturan mengenai apa yang harus dilakukan, dan apa yang dilarang.[5]
Kelima faktor di atas saling berkaitan
dengan eratnya, karena menjadi hal pokok dalam penegakan hukum, serta sebagai
tolok ukur dari efektifitas penegakan hukum. Kelima faktor yang dikemukakan
Soerjono Soekanto tersebut, tidak ada faktor mana yang sangat dominan
berpengaruh, semua faktor tersebut harus saling mendukung untuk membentuk
efektifitas hukum. Lebih baik lagi jika ada sistematika dari kelima faktor ini,
sehingga hukum dinilai dapat efektif.
Sistematika tersebut artinya untuk membangun efektifitas hukum harus diawali untuk mempertanyakan bagaimana hukumnya, kemudian disusul bagaimana penegak hukumnya, lalu bagaimana sarana dan fasilitas yang menunjang, kemudian bagaimana masyarakat merespon serta kebudayaan yang terbangun.
Sistematika tersebut artinya untuk membangun efektifitas hukum harus diawali untuk mempertanyakan bagaimana hukumnya, kemudian disusul bagaimana penegak hukumnya, lalu bagaimana sarana dan fasilitas yang menunjang, kemudian bagaimana masyarakat merespon serta kebudayaan yang terbangun.
[1] Dikutip
dari Buku karangan Nazir yang berjudul Metode Penelitian terbitan tahun 1988.
[2]
Dikutip
dari http://ilhamidrus.blogspot.com/2009/06/artikel-efektivitas-hukum.html diakses
pada tanggal 31 Desember 2009.
[4]
Berkaitan dengan kesadaran hukum dikutip dari http://balianzahab.wordpress.com/makalah-hukum/sosiologi-hukum-2/sosiologi-hukum/
yang diakses pada tanggal 31 Desember 2009
[5] Dikutip
dari http://ilhamidrus.blogspot.com/2009/06/artikel-efektivitas-hukum.html
diakses pada tanggal 31 Desember 2009.
Mengagas Sistem Kampanye Berbasis Kearifan Lokal Sebagai Sarana Pembelajaran Politik Rakyat Jawa Timur Dalam Mewujudkan Pemilihan Kepala Daerah yang Karta Tuwin Raharja
Oleh: Anggi V. Goenadi dan Tahegga Primananda Alfath
A.
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Permasalahan
Penyelenggaraan
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung sebagai momentum suksesi
kepemimpinan di daerah, dewasa ini telah menjadi sebuah momen yang sangat
menentukan nasib satu daerah terkait. Keterlibatan rakyat secara langsung dalam
Pilkada, berimbas pada dua dampak langsung yang melekat pada pelaksanaannya. Di
satu sisi keterlibatan rakyat tersebut merupakan satu hal yang positif, yakni
mulai terbangunnya satu pilar demokrasi di mana keterlibatan tersebut telah
menguatkan kesejajaran rakyat sebagai subjek. Namun di sisi lain keberadaan
suksesi kepemimpinan secara langsung yang tidak dibarengi oleh kemandirian dan
kapasitas rasional yang tercermin dari minimnya pengetahuan dan kesadaran
politik dengan baik, tak lebih hanya mengarahkan rakyat sebagai objek politik
semata.
Secara umum
pelaksanaan Pilkada secara langsung, merupakan amanat terkhusus dari hasil amandemen
konstitusi Negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).[1]
Keharusan dijadikannya demokrasi
sebagai dasar pelaksanaan Pilkada merupakan amanat konstitusi yang dijawantahkan dalam konsepsi Pilkada
langsung yang dewasa ini secara substansial telah menunjukan urgensi penting
pelaksanaannya. Begitu vitalnya keberadaan penyelenggaraan suksesi kepemimpinan
lewat momen Pilkada, telah menunjukan betapa besarnya nilai luhur demokrasi
dalam esensi penyelenggaraan Pilkada itu sendiri. Bahkan gagal tidaknya satu
penyelenggaraan Pilkada, tak jarang dijadikan sebagai indikator demokratis
tidaknya pelaksanaan Pilkada tersebut.[2]
Pilkada langsung
merupakan satu tahap pencapaian kemajuan perkembangan demokrasi di tanah air.
Pencapaian perkembangan demokrasi tersebut sangat terkait dengan variabel
masyarakat sebagai subjek di dalamnya. Tingkat pengetahuan dan kesadaran masyarakat
dalam menyikapi momentum Pilkada, merupakan faktor yang sangat berpengaruh
terhadap proses demokratisasi suksesi Pilkada tersebut. Tingkat pengetahuan dan
kesadaran masyarakat tersebut dalam perspektif momentum pilkada, dapat tercipta
melalui tahapan-tahapan dalam mekanisme penyelenggaraan Pilkada itu sendiri,
tahapan kampanye adalah satunya.
Kampanye merupakan
satu tahapan yang sangat menentukan dalam suksesi penyelenggaraan Pilkada.
Sistem kampanye yang ideal akan sejalan mewujudkan sarana pembelajaran yang
efektif tentang politik bagi rakyat. Pembelajaran politik yang tercipta oleh
tahapan kampanye yang ideal ini lah yang nantinya akan mempengaruhi kadar
kesadaran politik bagi rakyat terhadap pelaksanaan kehidupan politik, khusus
nya di daerah yang salah satunya melalui wadah Pilkada. Dalam upaya pencapaian
hal tersebut, seyogyanya sistem kampanye haruslah memposisikan diri sebagai
representasi dari kehendak rakyat.
Implementasi dari
sistem kampanye yang berjalan beriringan dengan dinamika perkembangan
masyarakat, dalam hal ini terkhusus terhadap masyarakat Jawa Timur, adalah
sebuah sistem kampanye yang berbasis kearifan lokal masyarakat, di mana
karakteristik masyarakat yang ada di dalamnya merupakan pijakan dasar
pergerakan sistem tersebut. Ketika sebuah sistem tersebut telah berada dekat
dengan masyarakat yang berfungsi ganda (di satu sisi sebagai subjek pelaku dan
di sisi lain sebagai objek perlakuan sistem), diharapkan fungsi dari pilar
kampanye akan benar-benar terwujud, yakni sebagai wadah pembelajaran politik
bagi rakyat.
Pendekatan
kampanye yang berbasis kearifan lokal tersebut merupakan satu urgensi penting
terhadap penyelenggaraan suksesi kepemimpinan melalui momen pilkada di Jawa
Timur. Pendekatan tersebut tentu saja harus didasarkan pada kedinamisan dan
karakteristik masyarakat Jawa Timur yang sangat plural. Pendekatan sistem yang
di dasarkan pada kearifan lokal masyarakat Jawa Timur ini, yang diharapkan
dapat meredam kecenderungan terjadinya polarisasi konflik dalam
kaitannya dengan potensi terjadinya kekerasan dalam Pilkada.
Ketika
satuan fungsi dalam sistem kampanye sebagai satu pilar demokrasi dalam
penyelenggaraan suksesi kepemimpinan di daerah lewat momen Pilkada telah
terbangun dengan basis pondasi berupa kearifan lokal yang diharapkan mampu
berjalan beriringan dengan dinamika kehidupan masyarakat, sebuah luaran berupa
kesadaran politik dalam arti luas akan benar-benar terwujud bagi masyarakat.[3]
Kesadaran politik yang riil terjadi dalam masyarakat tersebut secara langsung
akan menghasilkan keteraturan dan ketentraman hidup yang terjawantahkan utuh
dalam konsep kepemimpinan jawa, yakni Anjaga
Tata Titi Tentreming Praja (terjaganya keteraturan dan ketentraman hidup).
Pencapaian
keteraturan dan ketentraman hidup dalam masyarakat lewat sebuah sistem yang
ideal dan di dasarkan pada kearifan lokal yang berkorelasi dengan dinamika
karakteristik masyarakat tersebut, yang secara langsung menciptakan suksesi kepemimpinan daerah lewat
penyelenggaraan pilkada yang Kerta Tuwin Raharja, yakni Pilkada yang
aman dan dapat mensejahterakan rakyat. Di mana ketika suksesi kepemimpinan
sudah mampu menciptakan sebuah kondisi yang aman dalam artian bebas konflik,
secara langsung kompetisi sehat yang berada di dalam penyelenggaraan Pilkada
tersebut akan mensejahterakan rakyat dengan menelurkan sebuah sosok
pemimpin yang ideal, di mana kebijaksanaan, budi luhur, dan keadilan merupakan
satu pijakan dasar kepemimpinannya, yang tercermin pula pada falsafah
kepemimpinan Jawa, Wicaksana, ber Budi Bawa Leksana, Ambeg, Adil Para Marta.
1.2
Rumusan Masalah
Dari latar
belakang permasalahan diatas, dapat ditarik rumusan permasalahan sebagai
berikut:
- Bagaimana relevansi sistem kampanye terhadap suksesi kepemimpinan daerah lewat penyelenggaraan Pilkada?
- Bagaimana konsep sistem kampanye berbasis kearifan lokal sebagai sarana pembelajaran politik dalam mewujudkan pilkada yang Kerta tuwin raharja?
1.3
Tujuan Penulisan
Dari rumusan
permasalahan diatas, tujuan penelitian dari karya tulis ini adalah sebagai
berikut:
1. Untuk dapat mendeskripsikan
dan menganalisa relevansi sistem kampanye yang dianut terhadap suksesi
kepemimpinan daerah dalam penyelenggaraan Pilkada
2. Untuk dapat mendeskripsikan
dan menganalisa konsep sistem kampanye berbasis kearifan lokal sebagai sarana
pembelajaran politik dalam mewujudkan pilkada yang Kerta tuwin raharja.
1.4
Mamfaat Penulisan
Manfaat
teoritis: memberikan sumbangan bagi ilmu hukum dan politik khususnya dalam
menyikapi persoalan suksesi pemilihan umum dan keterkaitannya dengan sistem
kampanye.
Manfaat praktis
1. Bagi Pihak Pemerintah
Karya tulis ini diharapkan dapat
menjadi sebuah evaluasi terhadap konsep kampanye dalam suksesi kepemimpinan
baik dalam sekala darah maupun nasional, dan dapat menjadi referensi
pertimbangan dan alternatif solusi dalam permasalahan konsep kampanye berbasis
kearifan local dalam mewujudkan suksesi kepemimpinan yang Kerta tuwin raharja.
2. Bagi Pihak Komisi Pemilihan Umum Daerah
Karya tulis ini diharapkan dapat
menjadi sebuah alternatif solusi dalam permasalahan konsep kampanye berbasis
kearifan lokal dalam mewujudkan pilkada yang Kerta tuwin raharja.
3. Bagi Pihak Calon Pemimpin daerah
Karya tulis ini diharapkan dapat
menjadi bahan evaluasi mengenai konsep kampanye yang dilakukan dalam upaya
pembelajaran politik bagai masyarakat dalam perwujudan pilkada yang Kerta tuwin raharja.
4. Bagi Masyarakat
Karya tulis ini diharapkan dapat
menjadi referensi terhadap permasalahan kampanye suksesi kepemimpinan, di mana
masyarakat secara umum merupakan objek sekaligus subjek pelaku.
Karya tulis ini juga kami harapkan
dapat dijadikan satu referensi bagi masyarakat, terhadap system kampanye yang
dapat menjadi sarana pembelajaran politik dan dapat menumbuhkan partisipasi
masyarakat dalam politik.
B.
TINJAUAN PUSTAKA
1.1
Sistem Kampanye Pilkada
Sebuah sistem kampanye yang baik idealnya harus
terhindar dari tindakan kekerasan, black campaine, money politic dan high
cost politic. Selanjutnya kampanye yang ideal adalah kampanye yang berhasil
membawa pesan kampanye kepada masyarakat sehingga dapat berfungsi sebagai
medium sosialisasi politik dan pendidikan politik. Dapat
dikatakan sebagai kampanye yang mendidik ketika kampanye tersebut dilakukan
secara persuasif, menghindari cara-cara represif sehingga kampanye benar-benar
akan menjadi wahana pengembangan pengetahuan dan penalaran politik. Pengembangan
pengetahuan ini akan mentrasformasi perilaku politik massa menjadi lebih
matang, dewasa dan rasional.
Secara empiris setidak-tidaknya
terdapat tujuh tindakan atau perilaku yang tidak boleh dilakukan dalam
kampanye, antara lain:
1. Menghina seseorang, agama,
suku, ras, golongan, pasangan calon dan/atau partai politik
2. Manghasut dan mengadu domba
parpol, perseorangan, dan/atau kelompok masyarakat
3. Mengganggu keamanan,
ketentraman, dan ketertiban umum
4. Merusak dan/atau menghilangkan
alat peraga kampanye pasangan calon lain
5. Menggunakan fasilitas dan
anggaran pemerintah dan pemerintah daerah
6. Menggunakan tempat ibadah dan
tempat pendidikan
7. Melakukan pawai atau
arak-arakan yang dilakukan dengan berjalan kaki dan/atau dengan kendaraan di jalan
raya.[4]
1.2
Kearifan Lokal
Menurut I Nyoman Nurjaya, kearifan lokal adalah
tata nilai yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat lokal (indigenous people atau adat community) sebagaimana tercemin dalam
sistem pengetahuan, teknologi, institusi tradisi-tradisi termasuk sistem norma
hukum lokal, yang secara nyata dioperasikan untuk menjaga keteraturan hubungan
masyarakat dengan penciptanya, hubungan antar warga masyarakat dengan
lingkungan alamnya.[5]
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kearifan mempunyai
arti kebijaksanaan atau kemafhuman. Sedangkan lokal mempunyai arti daerah
tertentu. Kata kearifan lokal biasanya digunakan untuk membedakan dua sistem
pengembangan kemampuan teknologi dan pengetahuan. Kata itu tidak mengacu pada
kepentingan sebuah sistem pengetahuan yang sangat kuno, tetapi digunakan untuk
sebuah teknologi dan pengetahuan yang berbasis pada masyarakat
pada daerah tersebut.
1.3
Karakteristik Rakyat Jatim
Menurut Daniel Sparringa,
dosen Sosiologi Universitas Airlangga Surabaya,
peta sosiokultural masyarakat Jawa Timur dapat dibagi berdasarkan etnis dan
kultural. Dalam hal ini Daniel Sparringa mencoba mengelompokkan masyarakat Jawa
Timur berdasarkan tiga arus utama, meliputi pengelompokkan etnokultural utama,
divisi kultural, dan polarisasi berdasarkan ideologi.
Pengelompokan masyarakat Jawa Timur berdasarkan tiga karakteristik tersebut,
didasarkan atas karakteristik baik nominal maupun gradual yang secara lebih
rinci dapat diraikan sebagai berikut,
Pengelompokan pertama didasarkan pada pengelompokan terhadap etnokultural
utama. Pengelompokan ini didasarkan pada sub kultur masyarakat Jawa Timur
menurut arus utama yang meliputi; kelompok masyarakat “Maduran”,
kelompok masyarakat “arek” yang merupakan masyarakat yang mengunakan
dialek “Suroboyoan”, kelompok masyarakat “Mataraman”, kelompok
masyarakat “Samin”, kelompok masyarakat “Osing”, kelompok
Tionghoa, dan kelompok masyarakat keterunan Arab. Polarisasi ini merupakan
karakteristik etnokultural utama masyarakat JawaTimur, disamping
keberadaan kelompok-kelompok kultural masyarakat yang merupakan
akulturasi-akulturasi yang tercipta, seperti kelompok masyarakat “Panaragan”
dan “Tengger”.
Pengelompokan
berdasarkan divisi kultural penting lainnya, merupakan
pengelompokan kedua masyarakat Jawa Timur. Pengelompokan masyarakat pada
golongan ini didasarkan pada karakteristik hubungan sosial dalam masyarakat
yang bersifat diametral (saling berhadap-hadapan). Pengelompokan
masyarakat berdasarkan karakteristik ini meliputi hubungan, urban–rural, pesisir–pedalaman,
agraris–industrial, santri –abangan.
Pengelompokan masyarakat yang terakhir ialah
dengan pengelompokan berdasarkan polarisasi berdasarkan ideologi
“Politik”. Polarisasi masyarakat berdasarkan ideologis “politik” ini merupakan
wujud insting manusia dalam
mengapresiasikan kepentingan dan keberpihakannya dalam kehidupan sosial dan
politik. Polarisasi ini merupakan manifestasi atas segala kebutuhan, maupun
keberpihakan sebagai dampak terbentuknya struktur sosial, baik yang berdasarkan
nominal maupun gradual.[6]
1.4
Konsep Pilkada Menurut
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
Pemilihan Umum
Kepala Daerah dan Wakil Kepala daerah, atau seringkali disebut Pilkada, adalah
pemilihan umum untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala daerah secara
langsung di Indonesia. Pilkada langsung, pada mulanya ingin mengembalikan
kesadaran berdemokrasi pada hakikat sesungguhnya. Pilkada langsung memberikan
hak penuh kepada rakyat untuk menentukan siapa yang berhak untuk dijadikan
pemimpinnya. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 (UU
No. 32 Tahun 2004) mengintrodusir sistem pemilihan kepala daerah secara langsung. Hal ini
diatur di dalam pasal 65 sampai dengan pasal 118, kepala daerah dan wakil
kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang telah diusulkan oleh
partai politik atau gabungan partai politik yang dilaksanakan secara demokratis
berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.
Pergantian sistem
pemilihan kepala daerah tersebut karena sistem sebelumnya, yakni pemilihan
kepala daerah melalui Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) tidak memberikan legitimasi
yang besar pemimpin daerah. DPRD dalam proses pemilihan kepala daerah ternyata
lebih memperhatikan suara partai politik dibandingkan dengan suara rakyat yang
sesungguhnya sebagai pemegang kedaulatan, termasuk dalam pemilihan kepala
daerah. Adanya Undang-Undang Nomor 12 tahun 2008 yang merubah sebagian dari UU No. 32 tahun 2004 mengenai
kepala daerah dan wakil kepala daerah tidak hanya yang diusulkan oleh partai
politik atau gabungan partai politik saja yang dapat mengikuti Pilkada
langsung, namun perihal pasangan calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah
orang juga dapat mengikutinya.[7]
1.5
Konsep Karta Tuwin Raharja, Anjaga Tata Titi Tentreming Praja, Wicaksono,
Berbudi Bawa Leksana, Ambeg Adil Para Marta
Kekuasaan raja
menurut konsep Jawa bersifat absolut (mutlak), yang dalam bahasa pewayangan
dikatakan "gung binathara bau dhendha nyakrawati" (sebesar
kekuasaan dewa, pemelihara hukum dan penguasa dunia). Maka dari itu raja
dikatakan sebagai "wenang wisesa ing sanagari" (memegang
kekuasaan tertinggi di seluruh negeri). Namun, demikian tidak berarti bahwa
raja selalu bersifat sewenang-wenang. Dalam pandangan hidup Jawa, kekuasaan
yang besar yang diberikan kepada raja diimbangi dengan ketentuan bahwa raja
harus "wicaksana, ber budi bawa leksana, ambeg, adil para marta"
(bijaksana, sempurna budi luhur-mulia dan sifat adilnya terhadap sesama). Di
samping itu, raja juga bertugas "anjaga tata titi tentreming praja"
(menjaga keteraturan dan ketenteraman hidup rakyat), sehingga terwujud suasana
"karta tuwin raharja" (aman dan sejahtera).[8] Itulah filsafat kekuasaan Jawa, yang
oleh dikatakan sebagai doktrin ke-agungbinatara-an, sehingga kalau
kekuasaan dan tugas raja yang termuat dalam ajaran itu dipraktekkan secara
tepat oleh setiap pemimpin yang akan memimpin di daerahnya, maka kiranya itulah
sosok seorang pemimpin yang ditunggu oleh masyarakat.
C.
PEMBAHASAN
1. Relevansi Sistem Kampanye yang
Dianut terhadap Suksesi Kepemimpinan Daerah dalam Penyelenggaraan Pilkada
Kampanye dalam sebuah
pemilu merupakan kegiatan peserta pemilu untuk meyakinkan peserta pemilih
dengan menawarkan visi, misi dan program dari peserta pemilu. Secara umum
perihal pengaturan kampanye daerah tidaklah berbeda jauh dengan pengaturan
kampanye dalam pemilihan presiden yang terdahulu. Yang membuat berbeda ialah
lingkupnya, serta apabila kampanye dalam pilkada ini harus mampu menyesuaikan
format lokal daerah yang mengadakan pesta demokrasi lokal ini.
Sebuah kampanye memerlukan
sebuah sistem agar pelaksanannya berjalan sesuai dengan tujuan yang ingin
dicapai. Sistem dapat diartikan sebagai suatu kesatuan yang bersifat kompleks,
yang terdiri dari bagian-bagian yang berhubungan satu sama lain. Terhadap
aturan mengenai sistem kampanye sebagai satu tahapan dalam penyelenggaraan
pemilu, Pemerintah sebagai struktur, telah mengeluarkan aturan yang bersifat
teknis dalam pelaksanaannya. Terhadap pengaturan hal tersebut, secara garis
besar diataur pada Pasal 75 sampai
dengan Pasal 85 UU No. 32 Tahun 2004.
Dalam Pasal 75 sampai
dengan pasal 85 secara umum menjelaskan mengenai keharusan bagi peserta pilkada
untuk memperhatikan kaidah hukum yang berlaku. Secara teknis rumusan pasal ini
menjelaskan kapan waktu kampanye dilaksanakan, bagaimana kampanye itu
dilaksanakan, larangan kampanye yang tidak memuat unsur sara mengundang sebuah
kerusuhan dan mengganggu ketertiban umum, serta pengaturan tentang dana
kampanye. Hal ini dibutuhkan agar sebuah sistem dalam kampanye itu berjalan
dengan baik.
Merujuk pula dalam
Peraturan Pemerinah (PP) Nomor 6 Tahun
2005 sebagai petunjuk pelaksanaannya mengatur perihal dalam kebebasan rakyat
untuk menghadiri kampanye. Kampanye dilakukan selama 14 (empat belas) hari dan
berakhir 3 (tiga) hari sebelum hari dan tanggal pemungutan suara yang merupakan
masa tenang. Di dalam PP ini juga menjelaskan secara jelas mengenai bagaimana
pengaturan pelaksanaan kampanye, bentuk kampanye, larangan dalam kampanye, dan
dana kampanye. Dari keseluruhan yang diatur dalam undang-undang maupun dalam PP
itu merupakan sebuah sub sistem yang akan menjadi sistem dalam sebuah kampanye.
Kampanye secara Das Sollen dinilai sebagai satu wadah
untuk mengimplementasikan salah satu fungsi partai politik, yaitu sebagai
sarana komunikasi. Kampanye merupakan sarana sosialisasi dari partai politik (Political socialization) kepada
masyarakat. Seyogyanya kampanye merupakan satu wadah penyampaian sebuah ide,
visi dan kebijakan strategis yang menjadi pilihan dari partai politik kepada
masyarakat. Selain itu media kampanye juga berfungsi sebagai sarana pendidikan
politik bagi masyarakat. Kampanye sebagai media, Partai menjadi
“struktur-antara” atau intermediete
structure yang harus memainkan peran dalam membumikan cita-cita kenegaraan
dalam kesadaran kolektif masyarakat warga negara.[9]
Setelah sebuah sistem dalam kampanye itu
berjalan dengan baik dan masyarakat sadar akan politik maka masyarakat
diharapkan mampu memilih seorang pemimpin yang ideal, dalam artian tidak hanya
terpaku dengan profil dari calon yang ditawarkan tetapi hal yang lebih
substansial yang menjadi titik tekan masyarakat dalam memilih. Kaitannya
perihal yang substansial adalah visi dan misi serta kebijakan yang akan
diperbuat untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dialami daerahnya oleh calon
pemimpin untuk memiliki kapabilitas menjadi seorang pemimpin.
Sistem kampanye dapat
dikatakan baik, ketika mampu beiringan dengan dinamika masyarakat. Dinamika
mayarakat dalam hal ini ialah karakteristik dari daerah itu sendiri, dalam hal
ini masyarakat Jawa Timur. Masyarakat Jawa Timur memilki karakteristik yang
lebih terbuka dan spontan ketika berpendapat, namun juga ada masyarakat yang
mendekati atau berada dalam perbatasan, terpengaruh dengan budaya dari Jawa
Tengah yang lebih halus dan sopan daripada yang ada di daerah timur. Pengelompokan
etnokultural utama ini penting dikaji, mengingat perbedaan budaya dan
karakteristik masyarakat selain sebagai khazanah kekayaan budaya bangsa, juga
merupakan faktor pemicu dan pemantik terjadinya konflik dalam masyarakat.
Pendekatan
kultural dengan mengikuti kedinamisan masyarakat merupakan satu urgensi dalam
peletakan dasar sistem kampanye di Indonesia. Penetapan dasar sistem kampanye
secara normatif di Indonesia dewasa ini, penting untuk kembali di kaji,
mengingat beberapa konflik Horizontal terjadi dibeberapa penyelenggaraan
Pilkada. Hal tersebut menunjukan bahwa produk hukum di Indonesia mengenai
aturan sistem kampanye di Indonesia masih belum mampu mengikuti kedinamisan
masyarakat.
2.
Konsep Sistem kampanye berbasis
kearifan lokal dalam Mewujudkan Pilkada yang Kerta Tuwin Raharja
Kekuatan Pilkada
Langsung terletak pada pembentukan dan implikasi legitimasi sosok pemimpin oleh
masyarakat. Dalam konsep Civil Liberty
Demokrasi dikaitkan erat dengan kompetisi, partisipasi dan kebebasan rakyat. Kompetisi
dalam konsep demokrasi ini lah yang dapat terjawantahkan dalam suksesi kepemimpinan, dalam hal ini Pilkada.[10]
Penegakan pilar demokrasi dalam penyelenggaraan Pilkada tersebut, tentunya
harus dibarengi oleh sebuah sistem yang ideal dalam setiap tahapannya,
terkhusus mengenai sistem kampanye.
Pendewasaan
politik dewasa ini tidak lagi harus dimuarakan dalam kesiapan masyarakat
sebagai objek perlakuan sistem. Pendewasaan politik dan demokratisasi tersebut
seyogyanya terjawantahkan lewat sistem kampanye yang mampu mengikuti dinamika
masyarakat, dan mampu memposisikan diri dalam perspektif rakyat dalam
menjalankan fungsinya. Dengan pelaksanaan fungsi tersebut diharapkan seminimal
mungkin sistem yang terancangkan tersebut dapat benar-benar membawa implikasi
positif terhadap upaya pendewasaan politik bagi masyarakat.
Secara
umum, sistem kampanye dapat lah diidentifikasikan kedalam beberapa model, yaitu
yang pertama sistem kampanye massa yang meliputi, kampanye tatap muka di depan
khalayak massa, kampanye melalui media elektronik radio, televisi dan juga
telephon, maupun kampanye melalui media cetak-surat kabar, stiker, poster dan
lain-lain. Pengidentifikasian yang kedua adalah
kampanye inter personal dan yang terakhir adalah kampanye organisasi.
Dari ketiga pengidentifikasian kampanye di atas yang paling dikhawatirkan
adalah kemungkinan timbulnya ekses dari model kampanye massa. Model kampanye
ini dilakukan dengan cara mengakumulasi jumlah khalayak yang banyak, yang
sangat rentan sekali dengan pemunculan konflik horizontal.[11]
2.1
Realitas Permasalahan Konsep
Kampanye Konvensional
Secara umum,
kampanye yang ideal adalah kampanye yang berhasil membawa pesan inti dari
kampanye tersebut kepada masyarakat sehingga dapat berfungsi sebagai media
sosialisasi dan pendidikan politik bagi masyarakat. Keberadaan kampanye dalam
penyelenggaraan suksesi kepemimpinan merupakan satu pilar penting dalam menarik
minat keterlibatan rakyat sebagai subjek. Namun secara empiris tujuan utama
dari tahapan kampanye dalam suksesi kepemimpinan lewat Pilkada belum mampu
terimplementasikan secara utuh.[12]
Kenyataan di
lapangan bahwa tahapan kampanye dalam Pilkada tak ayal hanya berisikan hal-hal
yang bersifat ceremonial di mana daya
pikat masyarakat hanya di titik beratkan pada ketertarikan masyarakat terhadap
hiburan yang disajikan dan bukan terkhusus mengenai substansi pokok yang
diangkat. Sudah menjadi sebuah tren dalam pelaksanaan kampanye di Indonesia,
dimana Public Figure dijadikan garda
depan dalam penarikan masa terhadap kampanye yang dihelat. Seyogyanya penarikan
minat masa lewat kedigdayaan tokoh tersebut harus diposisikan sebagai upaya
awal untuk menuju pembelajaran politik bagi masyarakat. Namun dalam prektek,
kemunculan Public Figure tersebut
seakan merupakan agenda utama dalam penyelenggaraan kampanye tersebut
Peletakan kampanye
sebagai sarana pendidikan politik bagi rakyat secara ideal adalah dengan
memaknai kampanye sebagai proses pendidikan politik yang dilakukan secara
persuasif, dengan keterlibatan masyarakat menjadi dasar, dan menghindari cara-cara represif sehingga
kampanye benar-benar akan menjadi wahana pengembangan pengetahuan dan penalaran
politik. Pengembangan pengetahuan ini akan mentrasformasi perilaku politik
massa menjadi lebih matang, dewasa dan rasional.
Kerentanan munculnya
polarisasi konflik dalam Pilkada, juga merupakan satu faktor yang secara
langsung merupakan implementasi dari sistem kampanye yang tidak di dasarkan
pada keunggulan substansial. Secara empiris terdapat tiga faktor yang
menyebabkan timbulnya konflik dalam Pilkada. Yang pertama adalah masalah
independensi KPUD, kekecewaan pendukung karena calonnya tidak lolos seleksi
dalam pemilihan dan yang terahir disebabkan oleh dari persoalan internal partai
sendiri.
Kisruh
Pilkada Maluku Utara, yang hingga kini masih berlangsung, ditambah dengan
sengketa Pilkada Sulawesi Selatan, Kota Pontianak, Kota Bontang dan masih
banyak contoh riil konflik Pilkada di Indonesia, merupakan satu persoalan rill
yang semakin mepertajam kelemahan sistem kampanye dalam mengakomodir masyarakat
dalam upaya pembelajaran dan pendewasaan politik. Hal tersebut di perparah oleh
realita bahwa secara umum partai politik belum berfungsi dengan baik dalam
pendidikan politik bagi masyarakat.[13]
Persoalan
Kampanye biaya tinggi pun menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kompleksitas
permasalahan ini. Sebuah budaya negatif yang tercipta oleh sistem yang telah
tercitrakan pada penyelenggaraan kampanye, sejurus mengimplementasikan besarnya
biaya kampanye bagi para calon yang akan berkompetisi dalam Pilkada. Realitas tersebut
lebih di perparah ketika muncul sebuah asusmsi logis yang merupakan salah satu
mata rantai tindak pidana korupsi dikalangan para calon.
Besarnya dana yang
dikeluarkan para calon dalam pelaksanaan kampanye tersebut tak ayal diartikan
sebagai sebuah modal dasar, yang harus segera kembali ketika posisi yang di
pertaruhkan telah berhasil di kuasai. Sebuah ironi yang sangat mencengangkan
dan sekali lagi rakyat merupakan pihak yang paling dirugikan. Uniknya, ketika High cost menjadi sebuah realita,
kampanye sistem grilya dijadikan sebuah alternatif pilihan bagi para calon,
yang secara substansial sangat jauh dari
tujuan utama kampanye.[14]
Apabila
kita coba tarik benang merah terhadap munculnya realita penyimpangan terhadap
fungsi kampanye sebagai pembelajaran politik bagi rakyat, sebuah ketimpangan
sistem yang tak mampu berjalan beriringan dengan kedinamisan masyarakat
merupakan satu permasalahan riil yang belum terakomodir dalam sistem kampanye
yang hingga kini masih menjadi dasar teknis pelaksanaan. Rekonstruksi sistem
kampanye sebagai upaya suksesi kepemimpinan lewat Pilkada merupakan satu
urgensi yang harus segera diwujudkan.
2.2
Gagasan Sistem
Kampanye berbasis Kearifan Lokal
sebagai upaya mewujudkan Pilkada yang Kerta Tuwin Raharja
Urgensi terhadap rekronstruksi
sistem dalam upaya pencapaian fungsi kampanye yaitu sebagai wadah pembelajaran
dan pendewasaan politik bagi masyarakat secara konseptual dapat dilakukan
dengan pendekatan kultural masyarakat dan berbasis kepada kearifan lokal
masyarakat terkait. Keterlibatan rakyat dalam momen suksesi kepemimpinan lewat
penyelenggaraan Pilkada dapat benar-benar di akomodir dalam konsep pendekatan
melalui kearifan lokal masyarakat.
Adanya pengelompokan
masyarakat Jawa Timur berdasarkan pada etnokultural utama, sangat penting dalam
pemetaan karakteristik masyarakat sebagai satu langkah untuk meredam polarisasi
konflik horizontal dalam khususnya dalam penyelenggaraan Pilkada. Selain itu,
pendekatan kultural berbasis kearifan lokal dalam sistem kampanye tersebut, diharapkan
mampu mendekatkan sistem kepada rakyat, hingga akhirnya keberadaan rakyat dalam
suksesi kepemimpinan tersebut benar-benar difungsikan sebagai pilar demokrasi
dan fungsi pembelajaran dan pendewasaan politik oleh kampanye dapat benar-benar
terjawantahkan dengan baik oleh masyarakat.
Teknis pelaksanaan sistem kampanye yang berbasis kearifan lokal, seyogyanya
dapat mengakomodir segala permasalahan yang telah muncul pada sistem kampanye
konvensional yang ada. Secara teknis konsep kampanye yang penulis gagas di
sini, adalah konsep kampanye yang mengedepankan substansial terhadap hal-hal
apa yang akan diakomodir oleh calon sebagai nilai jual pada masyarakyat, yang
meliputi kajian mengenai Visi dan Misi, Program-program, paket kebijakan,
maupun penyelesaian sengketa secara.
Sistem kampanye yang berbasis kearifan lokal ini, secara khusus akan
dijalankan dengan basis ilmiah, di mana kampanye-kampanye yang dilakukan oleh
tiap calon harus memiliki nilai edukasi yang tinggi dan dapat menjawantahkan
nilai pendidikan dan pendewasaan politik bagi masyarakat, khususnya dalam hal
ini masyarakat Jawa Timur. Pelaksanaan teknis kampanye juga dapat memamfaatkan
media-media edukasi yang strategis dalam upaya mengikis sikap apolitis atau
apatisme masyarakat. Terhadap pencapaian hal tersebut, kampanye dengan
pilar-pilar yang terkait, sekali lagi harus disandarkan pada budaya yang tumbuh
dalam masyarakat dan menjadikan kearifan lokal sebagai pijakan awal.
Apabila kita
komparasikan pencapaian dari dua sistem kampanye, yakni antara sistem
konvensional, dengan sistem kampanye berbasis kearifan lokal yang penulis
tawarkan, dapat dibahasakan analisa tersebut dalam tabel sebagai berikut;
Tabel 1
Analisa
sistem kampanye konvensional dengan kampanye
berbasis
kearifan lokal
NO
|
JENIS ANALISA
|
KAMPANYE
KONVENSIONAL
|
KAMPANYE BERBASIS
KEARIFAN LOKAL
|
1
|
Minat Masyarakat
|
Kampanye yang diwarnai oleh hiburan-hiburan berimbas pada tingginya minat
masyarakat
|
Butuh waktu untuk meningkatkan minat masyarakat
|
2
|
Peran Serta Masyarakat
|
Sangat Kurang, kampanye bersifat satu arah
|
Masyarakat diletakkan sebagai subjek, peran serta masyarakat tinggi
|
3
|
Fungsi Pembelajaran Politik
|
Minim, proses pembelajaran sangat kurang ketika peran serta masyarakat
hanya sebagai objek
|
Pembelajaran politik merupakan pilar utama dalam sistem kampanye ini
|
4
|
Biaya (Cost)
|
High cost (Biaya tinggi)
|
Biaya bukan faktor utama
|
5
|
Kerawanan Politik
|
Kecenderungan terjadinya polarisasi konflik
|
Pembelajaran politik sebagai pilar untuk menciptakan kesadaran politik
dan meminimalisir konflik
|
Sumber: Pengolahan data dan hasil
analisa penulis
Hasil analisa
tersebut, secara umum menggambarkan masih lemahnya sistem kampanye yang telah
ada. Belum terakomodirnya kepentingan rakyat dalam penetapan dan pelaksanaan
sistem kampanye, merupakan satu faktor yang memperuncing permasalahan ini. Pendekatan
kampanye yang berbasis kearifan lokal merupakan satu urgensi penting terhadap
penyelenggaraan suksesi kepemimpinan melalui momen pilkada di Jawa Timur.
Pendekatan tersebut tentu saja harus didasarkan pada kedinamisan dan
karakteristik masyarakat Jawa Timur yang sangat plural. Pendekatan ini, yang
diharapkan dapat meredam kecenderungan terjadinya polarisasi konflik dalam
kaitannya dengan potensi terjadinya kekerasan dalam Pilkada.
Ketika satuan
fungsi dalam sistem kampanye telah terbangun dengan basis pondasi kearifan
lokal yang mampu berjalan beriringan dengan dinamika kehidupan masyarakat, luaran
berupa kesadaran politik dalam arti luas akan benar-benar terwujud bagi
masyarakat.[15]
Kesadaran politik yang riil terjadi dalam masyarakat tersebut secara langsung
akan menghasilkan keteraturan dan ketentraman hidup yang terjawantahkan utuh
dalam konsep kepemimpinan jawa, yakni Anjaga
Tata Titi Tentreming Praja (terjaganya keteraturan dan ketentraman hidup).
Pencapaian
keteraturan dan ketentraman hidup dalam masyarakat lewat sebuah sistem yang
ideal tersebut, secara langsung akan benar-benar menciptakan suksesi kepemimpinan daerah lewat
penyelenggaraan Pilkada yang Kerta Tuwin Raharja, yakni Pilkada yang
aman dan dapat mensejahterakan rakyat. Di mana ketika suksesi kepemimpinan
sudah mampu menciptakan sebuah kondisi yang aman dalam artian bebas konflik,
secara langsung Pilkada tersebut akan mensejahterakan rakyat dengan menelurkan
sebuah sosok pemimpin yang ideal, di mana kebijaksanaan, budi luhur, dan
keadilan merupakan satu pijakan dasar kepemimpinannya, yang tercermin pula pada
falsafah kepemimpinan Jawa, Wicaksana, ber Budi Bawa Leksana, Ambeg, Adil
Para Marta. Pencapaian akhir dari
keseluruahan pengejawantahan konsep Jawa lewat ke-agungbinatara-an
tersebutlah yang selaras akan mampu mentransformasikan nilau luhur Kerta Tuwin Raharja kepada skup yang
lebih besar, yaitu Negara.
D. PENUTUP
1. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat
disimpulkan bahwa:
- Relevansi Sistem Kampanye yang Dianut terhadap Suksesi Kepemimpinan Daerah dalam Penyelenggaraan Pilkada
- Sebuah kampanye memerlukan sistem agar pelaksanannya berjalan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.
- Kampanye secara Das Sollen dinilai sebagai satu wadah untuk mengimplementasikan salah satu fungsi partai politik, yaitu sebagai sarana komunikasi
- Sistem kampanye dapat dikatakan baik, ketika mampu beiringan dengan dinamika masyarakat
- Setelah sebuah sistem dalam kampanye itu berjalan dengan baik dan masyarakat sadar akan politik maka masyarakat diharapkan mampu memilih seorang pemimpin yang ideal
- Konsep Sistem kampanye berbasis kearifan lokal dalam Mewujudkan Pilkada yang Kerta Tuwin Raharja
- Penegakan pilar demokrasi dalam penyelenggaraan Pilkada tersebut, tentunya harus dibarengi oleh sebuah sistem yang ideal dalam setiap tahapannya, terkhusus mengenai sistem kampanye.
- Kampanye yang ideal adalah kampanye yang berhasil membawa pesan inti dari kampanye tersebut kepada masyarakat sehingga dapat berfungsi sebagai media sosialisasi dan pendidikan politik bagi masyarakat
- Secara empiris masih banyak implikasi negatif terhadap pelaksanaan sistem kampanye yanng ada saat ini
- Keterlibatan rakyat dalam momen suksesi kepemimpinan lewat penyelenggaraan Pilkada dapat di akomodir dalam konsep pendekatan melalui kearifan lokal masyarakat.
- Sistem kampanye yang berbasis kearifan lokal, secara khusus akan dijalankan dengan basis ilmiah, di mana kampanye yang dilakukan harus memiliki nilai edukasi yang tinggi dan dapat menjawantahkan nilai pendidikan dan pendewasaan politik bagi masyarakat
- Hasil akhir dari pelaksanaan sistem tersbut ialah terjaganya keteraturan dan ketentraman hidup masyarakat (Anjaga Tata Titi Tentreming Praja), yang selaras mewujudkan Pilkada yang Kerta Tuwin Raharja (aman dan mensejahterakan) dan pada akhirnya munculah pemimpin yang Wicaksana, ber Budi Bawa Leksana, Ambeg, Adil Para Marta
2. Saran dan Kontribusi
Dari pembahasan permasalahan
yang ada penulis coba memberikan saran dan kontribusi sebagai berikut;
1. Hendaknya Pemerintah kembali
mengkaji permasalahan sistem kampanye, yang merupakan satu tahapan yang sangat
vital dalam pelaksanaan suksesi kepemimpinan daerah lewat Pilkada
2. Peletakan kampanye sebagai
sarana pendidikan politik bagi rakyat secara ideal seyogyanya dengan memaknai
kampanye sebagai proses pendidikan politik yang dilakukan secara persuasif,
dengan keterlibatan masyarakat menjadi dasar, dan menghindari cara-cara represif sehingga
kampanye benar-benar akan menjadi wahana pengembangan pengetahuan dan penalaran
politik
3. Sistem kampanye yang berbasis
kearifan lokal yang penulis tawarkan, seyogyanya dapat dijadikan alternatif
solusi dalam pelaksanaan fungsi kampanye sebagai pilar penting dalam suksesi
kepemimpinan lewat penyelenggaraan Pilkada.
[1] Lihat Pasal 18 ayat (3)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
[4] Heny Mono, Mendobrak Kediktatoran KPUD, 2008, Bayumedia:
Malang.
[5] Prof. Dr. I Nyoman
Nurjaya, Pengelolaan Sumber Daya Alam dalam Perspektif Antropologi Hukum, 2008,
Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta.
[6] Dikutip
dari http://reyogponorogo.blogspot.com/2008/01/membaca-dinamika-peta-politik-jawa_6059.html.
[7] Lihat dalam Pasal 1 pada
poin 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
[8] G.
moedjanto, 2001, Kepemimpinan Jawa: Perintah Halus,
Pemerintahan Otoriter,Yayasan Obor Indonesia , Yogyakarta.
[9] Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, 2006,
Konstitusi Press: Jakarta, hal 160.
[15] Dikutip dari www.kompas.com diakses pada tanggal 27
Oktober 2008.
Langganan:
Postingan (Atom)