Oleh:
Tahegga Primananda Alfath
Dewan Perwakilan Daerah secara kelembagaan merupakan
sebuah lembaga Negara baru yang terbentuk dari amandemen ketiga dan keempat
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dasar pembentukan
lembaga ini adalah perubahan ketiga UUD NRI Tahun 1945 yakni pasal 22C, 22D dan
22 E. dalam dinamika perubahan keempat DPD secara kewenangannya mendapatkan
sebuah pengaturan baru, yakni diaturnya DPD sebagai bagian dari MPR. Pengaturan
tersebut dapat dilihat dalam pasal 2 ayat (1) dimana disebutkan secara jelas
bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang
dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan Undang-undang[1].
Secara historis pengaturan kelembagaan DPD tidak dapat
dipisahkan dari keberadaan utusan golongan pada masa Orde Baru. Kiprah adanya
utusan golongan dalam tubuh MPR tersebut didasari oleh sebuah pemikiran
filosofis bahwa dalam MPR, keberadaan lembaga yang mewakuli kepentingan daerah
secara wilayah, sebagai pencerminan dari penyuara kepentingan daerah dalam
penentuan arah kebijakan Negara.[2] Namun pembentukan kebijakan tersebut, oleh sebagian kalangan
dianggap tidak cukup menggambarkan tujuan pembentukan secara nyata. Hal
tersebut dapat dilihat ketika keberadaan utusan golongan dalam tubuh MPR juga
tak dapat dipisahkan dari kecenderungan wakil-wakil utusan daerah yang tak terlepaskan
dari afiliasi terhadap partai politik. Hal tersebut sekali lagi tak dapat
dipisahkan dari resistensi partai politik dalam masa Orde Baru.[3]
Arus reformasi yang bergenderang kencang dipenghujung
tahun 1998, selaras memunculkan semangat perubahan konstitusi sebanyak empat
kali. Perubahan tersebut pada akhirnya mengarahkan pembentukan kelembagaan DPD
dalam konstitusi sebagai mana yang dijabarkan diatas, dan secara dasar
pembentukannya lembaga ini nantinya diharapkan menjadi pemecah kebuntuan
terhadap permasalahan yang muncul di tengah realiata keberadaan utusan daerah
dalam tubuh MPR.
Dalam dinamika ketatanegaraan di
Indonesia, DPD merupakan satu lembaga Negara di Indonesia yang seyogyanya dapat
mengambil peran yang strategis dan optimal dalam perwujudan kesinambungan
fungsi kelembagaan. Namun realita yang ada, DPD sebagai representasi masyarakat
di daerah hingga saat ini belum mampu berperan secara dinamis, bahkan
kewenangan dan fungsi yang tersemat pada DPD tak ubahnya seuah formalitas yang
tidak berarah. Hal tersebut dapat dilihat dari kondisi DPD secara kelembagaan
itu sendiri, baik secara normatif yang termaktub dalam UUD NRI Tahun 1945
maupun secara etikat baik para elit untuk menuntaskan permasalahan ini.
DPD
Menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
DPD menurut ketentuan Pasal 22D UUD
NRI Tahun 1945 (a) mengajukan rancangan Undang-Undang tertentu kepada DPR (ayat
1), (b) Ikut memebahas rancangan undang-undang tertentu (ayat 2), (c)
memeberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan Undang-Undang APBN dan
rancangan undang-undng tertentu (ayat 2), (d) dapat melakukan pengawasan atas
pelaksanaan Undang-Undang teretentu (ayat 3). Dengan kata lain, DPD hanya
memeberikan masukan, sedangkan yang memutuskan adalah DPR, sehingga DPD ini lebih
tepat disebut sebagai Dewan Pertimbangan DPR, karena kedudukannya hanya
memeberikan pertimbangan kepada DPR.[4]
Berdasarkan pasal 223 Undang-Undang
Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah disebut
bahwa DPD memeiliki fungsi:
1. Pengajuan usul kepada DPR mengenai rancangan
undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,
pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya
alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan
keuangan pusat dan daerah;
2. Ikut dalam pembahasan rancangan undang-undang yang
berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran
serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah;
3. Pemeberian pertimbangan kepada DPR atas rancangan
undang-undang tentang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan
undang-undang uang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama; dan
4. Pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai
otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat
dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya,
pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama.
Dalam ketentuan UUD NRI tahun 1945
pasca amandemendan Undang-Undnag No. 27 Tahun 2009, terlihat jelas bahwa DPD
tidak mempunyai kewenangan untuk memebentuk undang-undang secara mandiri. Namun
dibidang pengawasan, khusus berkaitan dengan kepentingan daerah dan pelaksanaan
undnag-undnag teretentu, DPD dapat dikatakan mempunyai kewenangan penuh untuk
melakukan pengawasan terhadap kinerja pemerintahan, oleh karena itu di bidang
legislasi, kedudukan DPD lebih bersifat penunjang atau auxillary terhadap fungsi DPR, sehingga DPD disebut juga co-legislator dari legislator sepenuhnya
(DPR). Oleh karena itu DPD dapat lebih berkonsentrasi dibidang pengawasan
sehingga keberadaannya dapat dirasakan efektifitasnya oleh masyarakat di
daerah-daerah.[5]
Pengaturan
tentang lembaga DPD tidak dilakukan dengans epenuh hati, dalam arti kewenangan
DPD tidak semuanya terakomodasi dalam amanedemen UUD NRI Tahun 1945. Beberapa
kewenangan yang dimiliki DPD tidak maksimal sehingga menjadikan lembaga ini
tidak dapat berperan seperti yang diharapkan.Pembatasan kewenangan tersebut
terbukti menyulitkan DPD dalam menjalankan fungsi dan perannya. Sebagai wakil
daerah dalam pengambilan kebiajkaan pemerintahan di tingkat nasional.
DPD tidak memepunyai hak inisiatif
sendiri untuk mengajukan rancangan undang-undang, karena harus melalui DPR yang
berarti kesemuanaya wewenang penuh di DPR. Eksistensi DPD hanya berada di abwah
perintah DPR. Oleh karena itu, tidak salah jika ada yang berpendapat bahwa
fungsi dan peran DPD hanya sebagai biro perancang undang-undang bagi DPR atau
sekelas Badan Legislasi di DPR.
Dalam melaksanakan fungsi sebagai representasi darah, DPD diberikan
beberapa kewenangan oleh Konstitusi Negara yang terjawantahkan dalam pasal 22 C
dan 22 D. Terlepas dari beberapa nada sumbang yang mempertentangkan lemahnya
kewenangan DPD dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, pada satu sektor,
kewenangan DPD akan pengawasan terhadap Undang-undang merupakan satu peran
vital, yang seyogyanya dapat dijalankan dengan baik dan secara optimal.
Dalam Pasal 22 D
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, secara jelas
dituangkan bahwa;
“Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan
pengawasan terhadap Undang-undang, mengenai: Otonomi Daerah, Hubungan Pusat dan
Daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, pengelolaan Sumber Daya
Alam dan Sumber daya Ekonomi lainnya, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara,
pajak, pendidikan dan agama, serta menyampaikan hasil pengawasan itu kepada DPR
sebagai bahan pertimbangan untuk ditindak lanjuti”.
Secara umum, rumusan pasal tersebut, telah mengandung implikasi
logis terhadap kewenangan dalam persoalan pengawasan terhadap Undang-undang.
Kewenangan terhadap
pelaksanaan pengawasan terhadap Undang-undang tersebut di satu sisi dapat
dianalisa merupakan sebuah unsure pelemah kewenangan kelembagaan DPD itu
sendiri. Dalam perspektif pengaturan dalam konstitusi sendiri, apabila ditelaah
mengandung aturan yang bersifat imperatif (tidak mewajibkan). Redaksi “dapat”
yang melekat pada kewenangan yang termaktub dalam rumusan pasal 22 D tersebut
terkesan mengambang. Belum lagi ketika permasalahan tersebut dikaitkan dengan
alur mekanisme ketika proses pengawasan tersebut telah dijalankan oleh DPD.[6]
Alur mekanisme
hasil pengawasan yang telah dilakukan oleh DPD tersebut, dalam konstitusi
dilanjutkan dengan DPD menyampaikan hasil tersebut kepada DPR. Alur tersebut
kembali seakan melemahkan posisi DPD, ketika dalam lanjutan pasal 22 D tersebut
dijelaskan bahwa hasil pengawasan nantinya dijadikan bahan pertimbangan DPR
untuk ditindak lanjuti. Proses menindaklanjuti hasil pengawasan ini lah yang
sarat menimbulkan permasalahan, bagaimana peran DPD sangat lemah dalam alur
pelaksanaan proses pengawasan tersebut.
Dalam tata tertib
DPR mengenai aturan alur progress proses pengawasan Undang-undang, diatur bahwa
ketika hasil pengawasan tersebut telah diberikan oleh DPD kepada DPR, hasil
tersebut dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dan masukan bagi DPR dan
dapat ditindaklanjuti, tanpa diatur mengenai kewajiban apa mengenai proses
penindaklanjutan hasil pengawasan yang telah dilakukan oleh DPD. Ironisnya, DPR
tidak dipersalahkan, dalam arti tidak ada konsekuensi hukum ketika DPR tidak
menindaklanjuti hasil pengawasan terhadap Undang-undang yang diberikan oleh
DPD. Dalam tata tertib DPR hanya diatur, ketika DPR tidak menindaklanjuti hasil
tersebut, DPD dapat meminta penjelasan kepada pimpinan DPR, dan DPD mendapatkan
penjelasan secara tertulis dari DPR.[7]
Berbagai
permasalahan kompleks tersebut secara logis mengarahkan kepada kiprah DPD dalam
sistem ketatanegaraan Indonesia. Keoptimalan dilembagakannya DPD sebagai
penjelmaan representasi kepentingan daerah masih perlu dikaji lebih dalam,
dengan memperhatikan faktor terkait baik dalam politik pembentukannya hingga
pengaturan dalam konstitusi yang dirasa kian memberatkan posisi DPD itu
sendiri. Perlu kiranya dikaji ulang mengenai eksistensi keberadaan lembaga DPD.
Tentu saja hal tersebut juga patut didasari oleh sebuah penegasan arah
kelembagaan khususnya sistem parlemen yang akan dianut oleh Indonesia.
Dalam
Pasal 22D ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang berbunyi:
“Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan
undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,
pemebntukan, pemekaran dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam
dan sumber daya ekonomi lainnya, serta pertimbangan keuangan pusat dan daerah serta memeberikan
pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang
anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang
berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama.
Dengan demikian hal tersebut lebih mengekerdilkan
posisi DPD karena hanya ikut memebahas rancangan undang-undang teretntu, serta
memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang yang berkaitan
dengan APBN, Pajak, Pendidikan dan agama. Berarti DPD tidak punya kewenangan
mandiri untuk memebahas suatu rancangan undang-undang. Keikutsertaan DPD dalam
membahas rancangan undang-undnag teretentu tergantung pada adanya undangan dari
DPR dan hanya sebatas pada pembicaraan tingkat pertama.
Makna pemeberian pertimbangan itu berarti tidak mengikat semuanya
tergantung pada pihak yang menerima pertimbangan. Apalagi pertimbangan tersebut
diberikan secara tertulis hanya sekedar dijadikan bahan oleh DPR dalam
melakukan pembahasan rancangan undang-undang dengan pemerintah.
[1] Sirajudin dkk. Membangun
Konstituen Meeting: Memperkuat Kepentingan Daerah dengan Keterbatasan Wewenang
DPD. Malang: MCW. 2006
[2] www.kompas.com
[3] Ibid
[4] Isrok, Hukum Tata Negara ’knowladge for what
wetenschap voor de praktijk’ (Ilmu Pengetahuan harus Praktis dan Pragmatis
Salah satu syarat Ilmu Pengetahuan ), Malang: Penerbit Fakultas Pertanian
Universitas Brawijaya, 2008, hal 127
[5] Ibid. Hal 182.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar