Jumat, 16 September 2011

Selayang Pandang Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Pasca Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945


Oleh: Tahegga Primananda Alfath
Dewan Perwakilan Daerah secara kelembagaan merupakan sebuah lembaga Negara baru yang terbentuk dari amandemen ketiga dan keempat Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dasar pembentukan lembaga ini adalah perubahan ketiga UUD NRI Tahun 1945 yakni pasal 22C, 22D dan 22 E. dalam dinamika perubahan keempat DPD secara kewenangannya mendapatkan sebuah pengaturan baru, yakni diaturnya DPD sebagai bagian dari MPR. Pengaturan tersebut dapat dilihat dalam pasal 2 ayat (1) dimana disebutkan secara jelas bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan Undang-undang[1].
Secara historis pengaturan kelembagaan DPD tidak dapat dipisahkan dari keberadaan utusan golongan pada masa Orde Baru. Kiprah adanya utusan golongan dalam tubuh MPR tersebut didasari oleh sebuah pemikiran filosofis bahwa dalam MPR, keberadaan lembaga yang mewakuli kepentingan daerah secara wilayah, sebagai pencerminan dari penyuara kepentingan daerah dalam penentuan arah kebijakan Negara.[2] Namun pembentukan kebijakan tersebut, oleh sebagian kalangan dianggap tidak cukup menggambarkan tujuan pembentukan secara nyata. Hal tersebut dapat dilihat ketika keberadaan utusan golongan dalam tubuh MPR juga tak dapat dipisahkan dari kecenderungan wakil-wakil utusan daerah yang tak terlepaskan dari afiliasi terhadap partai politik. Hal tersebut sekali lagi tak dapat dipisahkan dari resistensi partai politik dalam masa Orde Baru.[3]
Arus reformasi yang bergenderang kencang dipenghujung tahun 1998, selaras memunculkan semangat perubahan konstitusi sebanyak empat kali. Perubahan tersebut pada akhirnya mengarahkan pembentukan kelembagaan DPD dalam konstitusi sebagai mana yang dijabarkan diatas, dan secara dasar pembentukannya lembaga ini nantinya diharapkan menjadi pemecah kebuntuan terhadap permasalahan yang muncul di tengah realiata keberadaan utusan daerah dalam tubuh MPR.
Dalam dinamika ketatanegaraan di Indonesia, DPD merupakan satu lembaga Negara di Indonesia yang seyogyanya dapat mengambil peran yang strategis dan optimal dalam perwujudan kesinambungan fungsi kelembagaan. Namun realita yang ada, DPD sebagai representasi masyarakat di daerah hingga saat ini belum mampu berperan secara dinamis, bahkan kewenangan dan fungsi yang tersemat pada DPD tak ubahnya seuah formalitas yang tidak berarah. Hal tersebut dapat dilihat dari kondisi DPD secara kelembagaan itu sendiri, baik secara normatif yang termaktub dalam UUD NRI Tahun 1945 maupun secara etikat baik para elit untuk menuntaskan permasalahan ini.
DPD Menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
DPD menurut ketentuan Pasal 22D UUD NRI Tahun 1945 (a) mengajukan rancangan Undang-Undang tertentu kepada DPR (ayat 1), (b) Ikut memebahas rancangan undang-undang tertentu (ayat 2), (c) memeberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan Undang-Undang APBN dan rancangan undang-undng tertentu (ayat 2), (d) dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan Undang-Undang teretentu (ayat 3). Dengan kata lain, DPD hanya memeberikan masukan, sedangkan yang memutuskan adalah DPR, sehingga DPD ini lebih tepat disebut sebagai Dewan Pertimbangan DPR, karena kedudukannya hanya memeberikan pertimbangan kepada DPR.[4] 
Berdasarkan pasal 223 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah disebut bahwa DPD memeiliki fungsi:
1.    Pengajuan usul kepada DPR mengenai rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah;
2.   Ikut dalam pembahasan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah;
3.  Pemeberian pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang tentang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang uang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama; dan
4. Pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama.
Dalam ketentuan UUD NRI tahun 1945 pasca amandemendan Undang-Undnag No. 27 Tahun 2009, terlihat jelas bahwa DPD tidak mempunyai kewenangan untuk memebentuk undang-undang secara mandiri. Namun dibidang pengawasan, khusus berkaitan dengan kepentingan daerah dan pelaksanaan undnag-undnag teretentu, DPD dapat dikatakan mempunyai kewenangan penuh untuk melakukan pengawasan terhadap kinerja pemerintahan, oleh karena itu di bidang legislasi, kedudukan DPD lebih bersifat penunjang atau auxillary terhadap fungsi DPR, sehingga DPD disebut juga co-legislator dari legislator sepenuhnya (DPR). Oleh karena itu DPD dapat lebih berkonsentrasi dibidang pengawasan sehingga keberadaannya dapat dirasakan efektifitasnya oleh masyarakat di daerah-daerah.[5]
      Pengaturan tentang lembaga DPD tidak dilakukan dengans epenuh hati, dalam arti kewenangan DPD tidak semuanya terakomodasi dalam amanedemen UUD NRI Tahun 1945. Beberapa kewenangan yang dimiliki DPD tidak maksimal sehingga menjadikan lembaga ini tidak dapat berperan seperti yang diharapkan.Pembatasan kewenangan tersebut terbukti menyulitkan DPD dalam menjalankan fungsi dan perannya. Sebagai wakil daerah dalam pengambilan kebiajkaan pemerintahan di tingkat nasional.
DPD tidak memepunyai hak inisiatif sendiri untuk mengajukan rancangan undang-undang, karena harus melalui DPR yang berarti kesemuanaya wewenang penuh di DPR. Eksistensi DPD hanya berada di abwah perintah DPR. Oleh karena itu, tidak salah jika ada yang berpendapat bahwa fungsi dan peran DPD hanya sebagai biro perancang undang-undang bagi DPR atau sekelas Badan Legislasi di DPR.
Dalam melaksanakan fungsi sebagai representasi darah, DPD diberikan beberapa kewenangan oleh Konstitusi Negara yang terjawantahkan dalam pasal 22 C dan 22 D. Terlepas dari beberapa nada sumbang yang mempertentangkan lemahnya kewenangan DPD dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, pada satu sektor, kewenangan DPD akan pengawasan terhadap Undang-undang merupakan satu peran vital, yang seyogyanya dapat dijalankan dengan baik dan secara optimal.
            Dalam Pasal 22 D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, secara jelas dituangkan bahwa;
Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan terhadap Undang-undang, mengenai: Otonomi Daerah, Hubungan Pusat dan Daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, pengelolaan Sumber Daya Alam dan Sumber daya Ekonomi lainnya, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, pajak, pendidikan dan agama, serta menyampaikan hasil pengawasan itu kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindak lanjuti”.
Secara umum, rumusan pasal tersebut, telah mengandung implikasi logis terhadap kewenangan dalam persoalan pengawasan terhadap Undang-undang.
            Kewenangan terhadap pelaksanaan pengawasan terhadap Undang-undang tersebut di satu sisi dapat dianalisa merupakan sebuah unsure pelemah kewenangan kelembagaan DPD itu sendiri. Dalam perspektif pengaturan dalam konstitusi sendiri, apabila ditelaah mengandung aturan yang bersifat imperatif (tidak mewajibkan). Redaksi “dapat” yang melekat pada kewenangan yang termaktub dalam rumusan pasal 22 D tersebut terkesan mengambang. Belum lagi ketika permasalahan tersebut dikaitkan dengan alur mekanisme ketika proses pengawasan tersebut telah dijalankan oleh DPD.[6]
            Alur mekanisme hasil pengawasan yang telah dilakukan oleh DPD tersebut, dalam konstitusi dilanjutkan dengan DPD menyampaikan hasil tersebut kepada DPR. Alur tersebut kembali seakan melemahkan posisi DPD, ketika dalam lanjutan pasal 22 D tersebut dijelaskan bahwa hasil pengawasan nantinya dijadikan bahan pertimbangan DPR untuk ditindak lanjuti. Proses menindaklanjuti hasil pengawasan ini lah yang sarat menimbulkan permasalahan, bagaimana peran DPD sangat lemah dalam alur pelaksanaan proses pengawasan tersebut. 
            Dalam tata tertib DPR mengenai aturan alur progress proses pengawasan Undang-undang, diatur bahwa ketika hasil pengawasan tersebut telah diberikan oleh DPD kepada DPR, hasil tersebut dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dan masukan bagi DPR dan dapat ditindaklanjuti, tanpa diatur mengenai kewajiban apa mengenai proses penindaklanjutan hasil pengawasan yang telah dilakukan oleh DPD. Ironisnya, DPR tidak dipersalahkan, dalam arti tidak ada konsekuensi hukum ketika DPR tidak menindaklanjuti hasil pengawasan terhadap Undang-undang yang diberikan oleh DPD. Dalam tata tertib DPR hanya diatur, ketika DPR tidak menindaklanjuti hasil tersebut, DPD dapat meminta penjelasan kepada pimpinan DPR, dan DPD mendapatkan penjelasan secara tertulis dari DPR.[7]
            Berbagai permasalahan kompleks tersebut secara logis mengarahkan kepada kiprah DPD dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Keoptimalan dilembagakannya DPD sebagai penjelmaan representasi kepentingan daerah masih perlu dikaji lebih dalam, dengan memperhatikan faktor terkait baik dalam politik pembentukannya hingga pengaturan dalam konstitusi yang dirasa kian memberatkan posisi DPD itu sendiri. Perlu kiranya dikaji ulang mengenai eksistensi keberadaan lembaga DPD. Tentu saja hal tersebut juga patut didasari oleh sebuah penegasan arah kelembagaan khususnya sistem parlemen yang akan dianut oleh Indonesia.
 Dalam Pasal 22D ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang berbunyi:
“Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pemebntukan, pemekaran dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta pertimbangan keuangan  pusat dan daerah serta memeberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama.
Dengan demikian hal tersebut lebih mengekerdilkan posisi DPD karena hanya ikut memebahas rancangan undang-undang teretntu, serta memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan APBN, Pajak, Pendidikan dan agama. Berarti DPD tidak punya kewenangan mandiri untuk memebahas suatu rancangan undang-undang. Keikutsertaan DPD dalam membahas rancangan undang-undnag teretentu tergantung pada adanya undangan dari DPR dan hanya sebatas pada pembicaraan tingkat pertama.
Makna pemeberian pertimbangan itu berarti tidak mengikat semuanya tergantung pada pihak yang menerima pertimbangan. Apalagi pertimbangan tersebut diberikan secara tertulis hanya sekedar dijadikan bahan oleh DPR dalam melakukan pembahasan rancangan undang-undang dengan pemerintah.


[1] Sirajudin dkk. Membangun Konstituen Meeting: Memperkuat Kepentingan Daerah dengan Keterbatasan Wewenang DPD. Malang: MCW. 2006
[2] www.kompas.com
[3] Ibid
[4] Isrok, Hukum Tata Negara ’knowladge for what wetenschap voor de praktijk’ (Ilmu Pengetahuan harus Praktis dan Pragmatis Salah satu syarat Ilmu Pengetahuan ), Malang: Penerbit Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, 2008, hal 127
[5] Ibid. Hal 182.
[6] Op. Cit. Sirajudin dkk. Membangun Konstituen Meeting...
[7] Ibid. Sirajudin dkk. Membangun Konstituen Meeting...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar