Selasa, 13 September 2011

Selayang Pandang International Criminal Court (ICC)


Oleh: TAHEGGA PRIMANANDA ALFATH  
PENDAHULUAN
Pembentukan International Criminal Court dilatarbelakangi oleh banyaknya tuntutan akan keadilan bagi kejahatan yang luar biasa kejamnya (heinous crime), seperti genosida (genocide), kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), kejahatan perang (war crimes) yang telah menimbulkan korban manusia yang sangat besar. Kejahatan-kejahatan ini sering terjadi dan dilakukan oleh para rezim penindas dan otoriter diberbagai belahan dunia. Seperti Idi Amin Dada tokoh yang muncul di pucuk kekuasaan Uganda pada tahun 1971 setelah menggulingkan Presiden Milton Obote. Tokoh ini dikenal sebagai penguasa yang haus darah dan kekuasaan yang telah mengorbankan dan membantai rakyatnya sejumlah 800.000 orang.
Tokoh lainnya adalah Pol Pot yang telah membantai rakyatnya sebanyak dua juta orang. Di Cile, ada Jenderal Augosto Pinochet telah membunuh 2.279 lawan politiknya, dan ribuan orang disiksa dan dipaksa melarikan diri keluar negeri Selain tokoh-tokoh yang disebutkan diatas masih banyak lagi tokoh-tokoh lainnya yang telah memerintah dengan tangan besi dan dengan mudah mengorbankan rakyatnya.
Kejahatan yang mereka lakukan tidak bisa digolongkan sebagai kejahatan biasa namun sudah tergolong sebagai kejahatan yang jika dibiarkan akan mengancam dan membawa malapetaka bagi kehidupan umat manusia di dunia ini. Sudah banyak instrumen hukum hasil kesepakatan internasional yang telah mengatur masalah kejahatan besar ini. Namun, sayangnya instrumen hukum yang sudah ada tersebut ternyata belum memadai. Banyak pelaku kejahatan besar yang tidak dijerat oleh instrumen-instrumen hukum tersebut. Salah satu kendala besar yang telah menjadikan para pelaku kejahatan besar mampu berkelit dari jerat hukum yang ada selama ini adalah impunity. Ini adalah kendala besar yang dihadapi dalam menerapkan hukum internasional pada saat ini. Oleh karena itu, dalam rangka mewujudkan dunia internasional yang lebih adil, khususnya untuk memutuskan rantai impunitas para pelaku kejahatan yang luar biasa. Diperlukan lembaga peradilan kriminal internasional. Serta sejauh apa kewenangan lembaga tersebut. Semua akan dibahas penulis didalam essai ini.

PEMBAHASAN
Statuta Roma atau Roma Statuta of The International Criminal Court merupakan hasil pertemuan Konferensi Diplomatik Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Diplomatics Conference of Plenipotentiaries on Establishment of an International Criminal Court) mengenai pembentukan ICC (International Criminal Court) untuk mengadili individu-individu yang dituduh melakukan atau terlibat dalam kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida, dan kejahatan perang.[1] Pada tanggal 17 Juli 1998 setelah melangsungkan pembahasan mendalam selama 5 minggu, sebanyak 108 negara telah meratifikasi statuta ini dan hanya 7 negara menolak untuk mengadopsi statuta tersebut, mereka adalah Cina, Israel, Iraq, Yaman, Qatar, Libya, dan Amerika Serikat (AS). Dalam hal ini Indonesia  belum meratifikasi statuta tersebut hal ini didasarkan karena ketakutan bahwa lembaga ICC dapat menjadi alat bagi dunia internasional untuk mecampuri urusan dalam negeri bangsa ini sehingga dapat mengganggu kedaulatan bangsa.
International Criminal Court ini memiliki berbagai tujuan, yaitu:
    Bertindak sebagai pencegah terhadap orang yang berencana melakukan kejahatan serius menurut hukum internasional;
       Mendesak para penuntut nasional yang bertanggungjawab secara mendasar untuk mengajukan mereka yang bertanggungjawab terhadap kejahatan ini ke pengadilan untuk melakukannya;
   Mengusahakan supaya para korban dan keluarganya bisa memiliki kesempatan untuk mendapatkan keadilan dan kebenaran, dan memulai proses rekonsiliasi;
       Melakukan langkah besar untuk mengakhiri masalah pembebasan dari hukuman ICC.
Selain itu ICC juga memiliki tujuan lain yaitu ICC akan mampu bertindak ketika pengadilan negara di mana kejahatan terjadi atau negara yang warganya menjadi tersangka tidak mampu atau tidak mau membawa mereka yang bertanggung-jawab ke pengadilan. Ketika Jaksa Penuntut ICC mendapatkan ijin untuk melakukan penyelidikan, berdasarkan infomasi dari berbagai sumber, termasuk para korban dan keluarga, LSM, organisasi kepemerintahan seperti PBB, dan negara, para Jaksa Penuntut tidak lagi bergantung pada sumber-sumber dari Dewan Keamanan PBB. Dibandingkan dengan pengadilan nasional, ICC akan dapat “bersuara” lebih keras atas nama seluruh masyarakat internasional. Hampir dua pertiga negara anggota PBB memutuskan untuk mengadopsi Statuta Roma pada tahun 1998, dan yang lain kemungkinan akan meratifikasinya dalam waktu dekat.
Indonesia ternyata masih belum meratifikasi hal tersebut, meskipun Indonesia belum meratifikasi statuta roma tersebut secara domestik Bangsa Indonesia telah mengadopsi ketentuan-ketentuan Statuta Roma ke dalam hukum nasional antara lain dengan menyempurnakan hukum acara pidana yang merupakan hukum acara untuk perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat dan mengundangkan Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Namun menurut Arif Havas masih ada perbedaan dasar kedua pijakan hukum peradilan hak asasi manusia itu. Statuta Roma tidak bersifat retroaktif, sebaliknya Undang-Undang Pengadilan HAM mengenal retroaktif dengan pengecualian.
Perbedaan Dasar Statuta Roma dan UU Pengadilan HAM

STATUTA ROMA
UU NO. 26 TAHUN 2000
Mekanisme internasional
Mekanisme nasional
Pengadilan internasional permanen
Pengadilan permanen, tetapi dimungkinkan untuk dibentuk
Tidak bisa retroaktif
Retroaktif dengan pengecualian
Ne bis in idem (dengan pengecualian)
Tidak ne bis in idem (tidak mengenal double jeopardy)
Kantor penuntut ICC terbagi menjadi (i) divisi investigasi; (ii) divisi prosecutor; (iii) divisi jurisdiction, complimentarity and cooperation
Jaksa Agung bertindak sebagai penyidik dan penuntut
Sumber: Arif Havas Oegroseno, 2008.[2]
Lebih jauh memahami Statuta Roma maka akan dijelaskan kejahatan-kejahatan yang masuk kedalam Yurisdiksi Statuta Roma, Yuridiksi dari Mahkamah harus dibatasi hanya terhadap tindak pidana yang oleh keseluruhanmasyarakat international dianggap paling serius. Hal tersebut sudah ada di Pasal 5 yang ada di dalam Statuta Roma. Mahkamah memiliki yuridiksi dalam kaitannya dengan Statuta ini dalam hal kejahatan sebagai berikut:
a. Tindak Pidana Genocide (pembunuhan massal);
b. Kejahatan terhadap kemanusiaan;
c. Kejahatan Perang;
d. Kejahatan agresi.
Kemudian kita akan mengupas apa itu ICC. Jika meurut Sekretaris Ditjen Hukum dan Perjanjian Internasional (HPI) Deplu Mulya Wirana menjelaskan,  ICC  atau yang dikenal dengan Pengadilan Pidana Internasional adalah lembaga peradilan permanen yang melakukan investigasi dan pengadilan terhadap individu atas kejahatan serius seperti genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang seperti hal-hal yang telah disebutkan sebelumnya mengenai yurisdiksi dari Statuta Roma. ICC hanya bertindak pada kasus-kasus kejahatan serius di negara yang tidak mau dan tidak mampu untuk mengadili kejahatan serius yang dimaksud. Prinsip ini dikenal dengan “the principle of complementarity”. ICC, menurut Wirana, hanya mengadili individual bukan negara.
Jika demikian halnya sekilas terlihat ada tumpang tindih kedudukan ICC jika dibandingkan dengan pengadilan-pengadilan Internasional lainnya yang telah lebih dulu ada seperti International Court of Justice (ICJ) ataupun International Criminal Tribunal for Former Yugosavia dan International Criminal Tribunal for Former Rwanda. Namun jika diamati lebih jelas terlihat perbedaan prinsip yang sangat mendasar antara ICC dengan 3 pengadilan lain tersebut.
International Criminal Court
International Court of Justice
International Criminal Tribunal for Former Yugosavia
International Criminal Tribunal for Former Rwanda
pengadilan kriminal yang mengadili individu
pengadilan sipil yang mengadili sengketa antara negara
pengadilan kriminal yang mengadili individu namun cakupan geografi yang dapat dijangkau.(Yugosavia)
pengadilan kriminal yang mengadili individu namun cakupan geografi yang dapat dijangkau.(Rwanda)
Tribunal untuk Yugoslavia dan Rwanda jelas hanya bisa menjangkau tindakan kriminal berat yang dilakukan oleh individu dua negara tersebut sementara ICC dapat menjangkau ke seluruh jengkal dunia dimana terdapat tindak kriminal berat tehadap kemanusiaan. ICC juga akan menghindarkan penundaan terhadap pengadilan pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan serta menghindari pembentukan tribunal berulang-ulang setiap terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan yang akan membutuhkan banyak biaya dan tenaga dalam pembentukannya. Beberapa hal yang dapat dilakukan dengan dibentuknya ICC adalah ICC dapat menjadi lembaga yang dapat menghindari terjadinya impunity yang selama ini dinikmati oleh individu-individu yang seharusnya bertanggungjawab terhadap kejahatan terhadap hak-hak asasi manusia secara internasional. ICC dapat membantu menyediakan insentif dan petunjuk pelaksanaan kepada setiap negara yang ingin melakukan penuntutan terhadap individu-individu yang bertanggungjawab terhadap kejahatan atas kemanusiaan di pengadilan negara mereka masing-masing.[3]
Mengenai siapa yang ada dalam ICC itu, Wirana menjelaskan lembaga itu beranggotakan 18 hakim dan seorang jaksa penuntut yang dipilih, yang akan memimpin investigasi dan mengadili suatu perkara. Hakim dan jaksa tersebut akan dipilih oleh negara negara yang telah meratifikasi Statuta Roma tersebut. Statuta Roma memberikan kriteria yang ketat untuk melakukan seleksi terhadap jaksa dan hakim, persyaratan tersebut meliputi keahlian dan reputasi, karakter moral, dan independensi yang tidak tercela. Mereka yang terpilih selama masa jabatannya akan dilarang untuk terlibat dalam berbagai aktivitas yang akan dapat mempengaruhi indepensinya. Tentu saja Statuta Roma memberikan ketentuan bahwa para hakim dan jaksa yang menyalahgunakan kewenangannya akan dapat diberhentikan dengan tidak hormat. Setiap negara yang ikut serta meratifikasi ICC memiliki hak menominasikan orang-orangnya untuk dipilih sebagai hakim dan jaksa. Hanya hakim dan jaksa yang bertugas di tingkatan tertinggi di tiap negara yang dapat dinominasikan di ICC.
Statuta Roma juga memberikan rambu-rambu yang sangat ketat untuk menghindari terjadinya masuknya kasus-kasus yang sarat dengan motivasi politik. Sebagai contoh semua dakwaan akan memerlukan konfirmasi dari hakim-hakim pra-peradilan. Hakim-hakim ini akan memeriksa bukti-bukti pendukung dakwaan sebelum mengumumkannya kepada publik. Dengan demikian terdakwa dan negara-negara yang memiliki perhatian terhadap kasus ini akan memiliki kesempatan untuk melakukan perlawanan terhadap dakwaan dalam proses dengar pendapat di depan sidang pra-peradilan. Sebagai tambahan, setiap investigasi yang dilakukan oleh jaksa penuntut harus mendapat persetujuan dari hakim-hakim pra-peradilan.
ICC sifatnya melengkapi keberadaaan sistem peradilan nasional sebuah negara dan akan melangkah hanya jika pengadilan nasional sebuah negara tidak memiliki kemauan atau tidak mampu untuk menginvestigasi dan menuntut kejahatan-kejahatan yang terjadi tersebut. ICC juga akan membantu untuk mempertahankan hak-hak perempuan dan anak-anak yang bisanya memiliki kekuatan yang sangat kecil untuk mempertahankan hak-haknya untuk mendapat keadilan.[4]
Pengadilan ICC mempunyai yuridiksi untuk menjatuhkan hukuman kepada pelaku kejahatan ketika:
       Kejahatan dilakukan di wilayah yang telah meratifikasi Statuta Roma.
       Kejahatan dilakukan oleh warga negara yang telah meratifikasi Statuta Roma.
       Negara yang belum meratifikasi statuta Roma telah memutuskan untuk menerima yuridiksi pengadilan atas kejahatan tersebut.
       Kejahatan dilakukan dalam situasi yang mengancam perdamaian dan keamanan internasional dan Dewan Keamanan PBB sudah mengajukan situasi tersebut ke muka Pengadilan berdasarkan bab 7 Piagam PBB.
Pemberlakuan yurisdiksi ICC harus memenuhi prinsip admissibility (penerima) yang memuat dua kriteria yaitu: ketidakinginan (unwillingness) secara sungguh-sungguh untuk melaksanakan yurisdiksi nasional dan ketidakmampuan (inability) untuk melaksanakan yurisdiksi nasional secara benar. Prinsip ini menegaskan bahwa yurisdiksi ICC hanya dapat menggantikan yurisdiksi pengadilan nasional jika pengadilan nasional telah menunjukkan ketidak mampuan atau ketidak ingginan untuk menuntut dan mengadili kejahatan serius yang terjadi di negaranya.
Kriteria untuk membuktikan ketidakinginan yang sungguh-sungguh dari pengadilan nasional untuk mengadili dicantumkan dalam Pasal 17 (2) dan (3) yang menegaskan sebagai berikut:
1.      bahwa proses peradilan telah dilaksanakan dengan maksud untuk melindungi seseorang dari pertanggung jawaban pidana atas kejahatan yang telah dilakukannya;
2.      Bahwa proses peradilan telah ditunda-tunda tanpa ada alasan yang dapat dipertanggung jawabkan sehingga bertentangan dengan maksud dan tujuan diajukannya seseorang ke muka sidang pengadilan;dan
3.      Bahwa proses peradilan tidak dilaksanakan secara bebas dan independen.
Kriteria untuk menentukan adanya ketidakmampuan pengadilan nasional adalah bahwa, telah terjadi suatu keadaan yang kolaps atau kacau terhadap sarana dan prasarana pengadilan nasional sehingga pengadilan tidak mampu menghadirkan tertuduh atau mengajukan bukti-bukti yang cukup dan kesaksian atau tidak dapat melaksanakan tugasnya secara optimal.
Prinsip komplementaritas memegang peran yang sangat strategis dalam menjembatani kepentingan nasional (kedulatan negara) dan kepentingan kerjasama internasional dalam pemberantasan kejahatan internasional. Didalam proses pembahasan Statuta Roma 1998, prinsip komplementaritas diterima seluruh peserta konvensi dan diakui sebagai salah satu jalan keluar terbaik dan sangat bijaksana untuk mengatasi kebuntuan pendapat antara negara dan mengensampingkan intervensi lembaga internasional kedalam urusan dalam negeri dan negara peserta yang berkehendak mengenyampingkan kedaulatan negara yang bersifat absolut.
Beberapa hal yang dapat dilakukan dengan dibentuknya ICC adalah ICC dapat menjadi lembaga yang dapat menghindari terjadinya impunity yang selama ini dinikmati oleh individu-individu yang seharusnya bertanggungjawab terhadap kejahatan terhadap hak-hak asasi manusia secara internasional. ICC dapat membantu menyediakan insentif dan petunjuk pelaksanaan kepada setiap negara yang ingin melakukan penuntutan terhadap individu-individu yang bertanggungjawab terhadap kejahatan atas kemanusiaan di pengadilan negara mereka masing-masing. Selanjutnya ICC juga akan menjadi lembaga terakhir yang akan melakukan tuntutan terhadap individu yang melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan yang tidak dituntut di negaranya diakibatkan oleh tidak adanya kemampuan ataupun kemauan dari negara tersebut untuk melakukan penuntutan. Jadi dalam hal ini ICC akan menjadi semacam benteng terakhir keadilan bagi korban kejahatan tehadap kemanusiaan.
A Irmanputra Sidin yang mengatakan “ICC bukanlah pengadilan the first resort, tetapi the last of the last resort karena itu tidak akan merusak kedaulatan domestik negara peserta. ICC menggunakan prinsip remedi domestik bahwa negara peserta tetap mengadili terlebih dahulu pelaku pelanggaran HAM berat”. Ini sejalan dengan penjelasan tentang ICC yang dipublikasikan dalam situs ICC yang mengatakan “As noted, the ICC is not intended to replace national courts. Domestic judicial systems remain the first line of accountability in prosecuting these crimes. The ICC ensures that those who commit the most serious human rights crimes are punished even if national courts are unable or unwilling to do so. Indeed, the possibility of an ICC proceeding may encourage national prosecutions in states that would otherwise avoid bringing war criminals to trial.” Dengan demikian jelas terlihat bahwa ICC adalah pengadilan pelengkap (komplemen) bagi pengadilan nasional.[5]
Keberlakuannya hanya akan dapat terjadi jika pengadilan domestik tidak dapat mengadakan pengadilan terhadap pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan. Jika kita hubungkan masalah yurisdiksi ICC ini dengan Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Indonesia maka dalam laporan Amnesty Internasional bulan Februari 2001 disebutkan bahwa dalam pasal 5 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 mengatur bahwa Pengadilan HAM mempunyai lingkup wewenang untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran berat HAM yang dilakukan oleh warga negara Indonesia di luar batas territorial wilayah negara Republik Indonesia. Aturan ini mengundang kekhawatiran bagi Amnesty International bahwa pembatasan wilayah territorial tersebut tidak konsisten dengan hukum internasional karena tidak memberikan kesempatan bagi penggunaan yurisdiksi universal terhadap mereka yang dicurigai melakukan tindakan pidana menurut hukum internasional dan berada di wilayah territorial Indonesia, atau bagi tersangka perkara-perkara semacam itu untuk diekstradisi ke negara lain yang mampu serta bersedia untuk menuntut mereka yang dituduh sebagai pelakunya.
Dalam hal definisi tentang kejahatan yang diatur pada Bab III pasal 7 Undang-Undang Pengadilan HAM Indonesia, telah terlihat kesesuaian yang sangat positif dengan pengertian yang tercantum dalam Statuta Roma tentang ICC pasal 6 dan 7. Amnety Internasional dalam laporan yang sama menulis, “Pemakaian Statuta Roma sebagai dasar bagi pemberian definisi ini kami sambut baik karena bersama-sama dengan instrumen atau traktat internasional lainnya, Undang-Undang ini memberikan standar yang pasti bagi penyidikan dan penuntutan atas pelanggaran HAM yang berat. Cara pendekatan semacam ini juga akan membantu memberikan sarana bagi peratifikasian Statuta Roma oleh Indonesia”. Selain masalah yurisdiksi tempat, ICC juga tidak memiliki yurisdiksi terhadap kejahatan yang terjadi sebelum 1 Juli 2002. ICC tidak memiliki yurisdiksi untuk mengadili delik yang terjadi (ratione temporis) sebelum 1 Juli 2002. Indonesia, jika suatu hari nanti meratifikasi ICC, maka jurisdiksi ICC hanya pada delik-delik yang terjadi setelah tanggal ratifikasi. Namun, Indonesia tanpa meratifikasi dapat meminta pelaksanaan yurisdiksi ICC dengan terlebih dahulu menyampaikan deklarasi penerimaan kepada Panitera ICC di Den Haag Belanda. Jika kita bandingkan dengan apa yang terjadi di Indonesia, maka hal ini kongruen dengan ketentuan dalam pasal 28 I Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang intinya melindungi seseorang dari penuntutan atas ketentuan yang berlaku surut. Hal ini sama halnya yang telah dipaparkan diatas mengenai asas retroaktif.
Hal ini di satu sisi menunjukkan adanya ketidaksinkronan antara Statuta Roma tentang ICC dengan ketentuan hukum internasional lainnya. Amnesty International, masih dalam laporannya tentang Pengadilan HAM Indonesia, mengomentari ketentuan pasal 28 I tersebut dengan memakai perbandingan pasal 11 (2) Universal Declaration of Human Rights yang menyatakan “Tidak seorangpun boleh dipersalahkan melakukan pelanggaran pidana karena perbuatan atau kelalaian yang tidak merupakan suatu pelanggaran pidana menurut UU nasional atau internasional, ketika perbuatan tersebut dilakukan”. Ketentuan ini menurut Amnesty International menunjukkan bahwa hukum internasional tidaklah melarang adanya perundang-undangan pidana yang berlaku surut yang semata-mata berupa prosedur untuk melakukan penyidikan, penuntutan, dan penjatuhan hukuman atas kelakuan, yang pada saat dilakukan, memang merupakan perbuatan kriminal menurut prinsip-prinsip umum peraturan yang telah diterima oleh komunitas bangsa-bangsa.[6]
Jika kita cermati hal ini maka Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dapat dikatakan melanggar prinsip-prinsip hukum internasional yang universal yang berikutnya berakibat pada tidak maksimalnya pelaksanaan Undang-Undang Pengadilan HAM yang kita punya. Namun demikian hal ini juga terjadi pada Statuta Roma tentang ICC yang menyatakan tidak dimilikinya yurisdiksi oleh ICC untuk mengadili kejahatan yang terjadi sebelum 1 Juli 2002.
Negara-negara yang mengikatkan diri pada ICC akan menentukan anggaran dan ikut membayar iuran untuk ICC. Pendanaan ICC juga didapat dari PBB khususnya ketika ICC menginvestigasi dan menuntut kasus yang diserahkan kepada ICC oleh Dewan Keamanan (DK) PBB. DK PBB dapat menyerahkan kepada ICC untuk melakukan investigasi dan penuntutan. DK PBB juga dapat meminta ICC untuk menghentikan investigasi dan penuntutan selama 12 bulan dalam suatu waktu jika DK merasakan bahwa langkah-langkah yang dilakukan oleh ICC saling tumpang tindih dengan tanggung jawab DK PBB untuk memelihara perdamaian dan keamanan. Ketentuan ini akan membuat setiap anggota tetap DK PBB memiliki kesulitan untuk memanipulasi ICC.
Namun demikian keberadaan ICC tidak luput dari permasalahan. Sebagaimana yang disampaikan pada bagian awal tulisan ini, terdapat 7 negara yang menolak untuk menandatangani Statuta Roma salah satunya Amerika Serikat. Ketika komunitas internasional melakukan kohesi melawan penjahat kemanusiaan, Amerika Serikat, yang distigma sebagai police of the world ternyata menyatakan tidak bergabung sebagai negara peserta. Argumentasi penolakan Amerika Serikat bahwa ICC telah mengurangi peran Dewan Keamanan PBB (DK PBB), sebuah sistem yang cacat, dibangun tanpa pengawasan, dan mengancam kedaulatannya. Apa yang dilakukan oleh Pemerintah Amerika Serikat ini benar-benar mengejutkan karena hal ini sangat berlawanan terhadap dukungan terhadap pembentukan ICC oleh hampir semua sekutu dekat Amerika Serikat. Permusuhan Pemerintahan Bush terhadap ICC meningkat secara dramatis pada tahun 2002.
Perhatian utama yang menjadi alsan pemerintah Bush menolak ICC berhubungan dengan kemungkinan yurisdiksi ICC dapat dipakai sebagai alat untuk melakukan investigasi dan penuntutan yang bermotif politik terhadap personil militer dan pejabat politik Amerika Serikat. Pada tanggal 6 Mei 2002 sebuah manuver diplomatic yang belum pernah terjadi sebelumnya, Pemerintah Bush secara efektif mencabut tanda tangan Amerika Serikat pada treaty yang telah dilakukan sebelumnya. Pada saat itu Duta Besar Amerika Serikat yang berkuasa penuh untuk masalah-masalah kejahatan perang, Pierre-Richard Prosper menyatakan bahwa pemerintah Amerika Serikat tidak ingin “berperang” melawan ICC. Namun sebenarnya prnyataan ini sama sekali tidak benar. Penolakan untuk meratifikasi treaty yang dilakukan oleh Amerika Serikat telah membuka jalan yang amat komprehensif bagi pemerintah Amerika Serikat untuk mengurangi peran ICC.
Akibat dari penarikan diri ini pemerintahan Bush berikutnya melakukan langkah-langkah yang sangat tidak simpatik yang menunjukkan arogansi Amerika Serikat terhadap komunitas international. Langkah pertama yang dilakukan adalah pemerintah Bush melakukan negosiasi dengan DK PBB untuk memberikan pengecualian terhadap personil Amerika Serikat yang menjadi bagian dari operasi pasukan penjaga perdamaian PBB. Namun negosiasi ini pada bulan Mei 2002 gagal untuk mendapat pengecualian terhadap pasukan penjaga perdamaian di Timor Timur. Akibat dari hal itu pada bulan Juni Amerika Serikat melakukan veto terhadap rencana perpanjangan pasukan penjaga perdamaian untuk Bosnia-Herzegovina kecuali jika DK PBB memberikan pengecualian yang lengkap terhadap personel Amerika Serikat dari pemberlakuan ICC. Akibat dari permintaan ini hubungan Amerika Serikat dengan negara-negara sekutunya sempat tegang untuk beberapa waktu sampai akhirnya DK PBB menyepakati untuk memberi pengecualian terhadap personil Amerika Serikat yang terlibat dalam operasi pasukan penjaga perdamaian PBB untuk waktu satu tahun. Pengecualian ini diberikan dengan sangat terbatas dan DK PBB telah menunjukkan keinginannya untuk mengevaluasi pengecualian ini pada tanggal 30 Juni tahun depan[7].
Kedua, Pemerintah Amerika Serikat telah mengajukan permintaan kepada negara-negara di seluruh dunia untuk melakukan “kerjasama” bilateral untuk tidak menyerahkan warga negara Amerika Serikat kepada ICC. Tujuan dari “kerjasama” ini (kerjasama impunity atau yang lebih dikenal sebagai persetujuan pasal 98) adalah untuk menghindarkan personil Amerika Serikat dari yurisdiksi ICC. Selain itu mereka juga mengampanyekan dua tingkatan aturan main untuk tindak pidana internasional yakni yang berlaku untuk warga negara Amerika Serikat dan yang berlaku bagi warga negara di luar Amerika Serikat. Hal ini tentu saja sangat menganehkan karena pemerintah Amerika Serikat melakukan segala cara untuk menghindari warga negaranya diserahkan kepada ICC sementara Amerika Serikat sangat bersemangat untuk meminta negara-negara yang dianggap oleh Amerika Serikat telah melakukan tindakan pelecehan terhadap Hak Asasi Manusia. Organisasi seperti Human Right Watch International memprotes keras sikap Amerika Serikat ini dengan meminta negara-negara di seluruh dunia untuk menolak bekerja sama dengan Amerika Serikat dalam hal ini.
Ketiga, Kongres telah memberi dukungan kepada pemerintah Amerika Serikat atas usahanya dalam isu ini dengan mengesahkan Undang-Undang Perlindungan Pegawai Pemerintah Amerika Serikat (American Service member Protection Act, ASPA) yang kemudian ditandatangani oleh Presiden Bush pada tanggal 3 Agustus 2002. Isi yang paling utama dari Undang-undang yang sangat anti-ICC ini adalah:
a.    Larangan bagi pemerintah Amerika Serikat  untuk bekerja sama dengan ICC;
b.     Melakukan “invasi” terhadap ketentuan-ketentuan The Hague dengan memberikan kekuasaan kepada Presiden Amerika Serikat untuk menggunakan segala cara yang diperlukan untuk membebaskan personil Amerika Serikat dari tahanan atau penjara ICC;
c.    Memberikan hukuman kepada negara-negara yang bergabung dalam ICC, menolak untu memberikan bantuan militer kepada negara-negara yang ikut serta dalam ICC (kecuali terhadap negara-negara sekutu utama Amerika Serikat);
d.   Larangan bagi personil Amerika Serikat untuk berpartisipasi dalam misi penjaga perdamaian bila tidak ada garansi atau jaminan bahwa kekebalan terhadap ketentuan dalam ICC diberikan kepada mereka.
PENUTUP
Pengadilan HAM Indonesia tidak mengenal Complementarity Principle mengingat Statuta Roma 1998 yang menjadi dasar berlakunya ICC tidak diratifikasi oleh Indonesia. Namun sesuai dengan Statuta Roma 1998 melalui usulan Dewan Keamanan PBB, Pengadilan HAM Indonesia harus tunduk kepada yurisdiksi ICC walaupun Indonesia bukan merupakan Negara Peserta.
Hal tersebut dibuktikan dengan Indonesia telah mengadopsi ketentuan-ketentuan Statuta Roma ke dalam hukum nasional antara lain dengan menyempurnakan hukum acara pidana yang merupakan hukum acara untuk perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat dan mengundangkan Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

 



[1] http://www.mahkamah pidana internasional. Adedidikirawan’s Blog.htm.
[2] www.hukumonline.com diakses pada hari senin tanggal 23 November 2009
[3] http://www.un.org/law/icc/ [2] Ibid[3] A Irmanputra Sidin, Berjalan Menuju Roma (Refleksi Berlakunya Statuta Roma).
[4] Publikasi ICC pada situs resmi http://www.un.org/law/icc/
[5]  http://www.un.org/law/icc/ [2] Ibid[3] A Irmanputra Sidin, Berjalan Menuju Roma (Refleksi Berlakunya Statuta Roma).
[6]http://www.un.org/law/icc/Amnesty International, Komentar Mengenai Undang-undang Pengadilan HAM Indonesia, February 2001.
[7]  http://www.un.org/law/icc/February 12, 2007 in Current Affairs | Permalink.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar