Jumat, 10 Februari 2012

MENEROPONG DESA DALAM 4 PILAR KETATANEGARAAN INDONESIA


Oleh; Tahegga Primananda Alfath, S.H.

Pergerakan reformasi di Indonesia sudah berlangsung selama 14 tahun (rentang tahun 1998 – 2012), banyak format solusi bangsa yang dikeluarkan oleh generasi reformis untuk mewarnai negara ini. Konstitusi mengalami amandemen ke-empat, format kelembagaan negara mengalami pergeseran, dan berbagai hak asasi manusia coba lebih dilindungi dalam era reformasi ini. Semangat reformasi yang tidak pernah padam mengantarkan kepada peninjauan ulang terhadap bentuk pengaturan desa. Pemerintahan desa dianggap belum mengalami sentuhan reformasi, sehingga berbagai aksi mulai bergejolak dari desa. Gejolak dari desa ini yang menginisiasi adanya pengaturan baru tentang pemerintahan desa.
Pemerintahan desa di Indonesia sangat beragam macamnya, dari sabang sampai merauke tidaklah sama. Pengaturan pemerintahan desa harus benar-benar memperhatikan berbagai pilar dari bangsa dan negara ini. 4 (empat) pilar yang fundamental yang harus benar- benar di perhatikan oleh para pembuat undang-undang adalah Bhinneka Tunggal Ika, Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Lebih jauh lagi penulis mengajak untuk turut serta menjadikan Naskah Proklamasi sebagai sebuah sumber insipirasi utama pengaturan tersebut. Dalam prespektif hukum Naskah Proklamasi adalah naskah tentang proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia.[1]  Melalui proklamasi inilah kita menyepakati untuk merdeka, bersatu dalam suatu negara yang disebut Indonesia, proklamasi merupakan tindakan tunggal yang meniadakan tatanan hukum kolonial dan di atasnya dibentuk suatu tatanan hukum baru yaitu hukum nasional. Dan Naskah Proklamasi adalah alat untuk mengimplementasikan semboyan negara Bhinneka Tunggal Ika, yang kini semboyan tersebut telah melekat dalam konstitusi (UUD 1945), lihat pada pasal 36A “Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan Semboyan Bhinneka Tunggal Ika.”, pilar yang tidak boleh terlupakan dalam ketatanegaraan Indonesia.
Prinsip bhinneka tunggal ika pada dasarnya adalah kesediaan warga bangsa untuk bersatu dalam perbedaan (unity in diversity). Yang disebut bersatu dalam perbedaan adalah kesediaan warga bangsa untuk setia pada lembaga yang disebut negara dan pemerintahnya, tanpa menghilangkan keterikatannya pada suku bangsa, adat, ras dan agamanya.[2] Pantas saja jika semboyan pemersatu bangsa ini ditasbihkan oleh banyak ahli ketatanegaraan sebagai salah satu pilar negara, karena peranannya besar yakni menyangga agar negara tetap kokoh dalam kesatuan bangsanya. Semboyan ini juga dapat dijadikan sebagai netralisir gesekan akibat identitas primordialnya. Tudak dipungkiri setiap desa di Indonesia ini memiliki ke khasannya sendiri, dan besar daripadanya memiliki sistem hukumnya sendiri pula, maka itulah kebhinnekaan Indonesia. Maka semangat semboyan binneka tunggal ika ini harus terus terbawa manakala otonomi desa telah terjadi, bukan kerajaan-kerajaan kecil yang tercipta melainkan subsistem, susbsistem dari ketatanegaraan Indonesia yang menopang bangsa dan negara Indonesia untuk terus maju, adil, dan sejahtera. 
Meneropong desa yang nantinya diejawantahkan dalam peraturan, perlu menghadirkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Penekanan pada sila ke-3 tentang persatuan dan sila ke-5 tentang keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Kaelan menyatakan perlunya aktualisasi Pancasila, yang model aktualisasi tersebut dibaginya menjadi dua macam, yaitu aktualisasi Pancasila secara subyektif, yaitu ralisasi pada setiap individu dan aktualisasi objek, yaitu realisasi dalam segala aspek kenegaraan dan hukum.[3] Menghadirkan pancasila ini mampu menciptakan identitas murni bangsa Indonesia.  Bangsa Indonesia bersatu bukan karena faktor kesamaan primordial seperti kesamaan bahasa ibu, kesatuan suku, budaya maupun agama, akan tetapi bersatunya bangsa Indonesia karena faktor historis. Faktor historis yang dimaksud adalah cita-cita untuk lepas dari belenggu penjajahan dan bertekad untuk menggapai cita-cita bersama untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan masyarakatnya. Maka pantas jika Pancasila ini diletakkan sebagai groundnorm dalam kehidupan kebangsaan, karena dalam Pancasila terkandung sebuah idiil bangsa sebagai jawaban dari quo vadis kehidupan rakyat Indonesia .
Pemerintahan desa sudah ada sejak Negara Indonesia ini telah terbentuk, mereka memiliki suatu sistem kenegaraan yang tersendiri, masing-masing daerah memiliki karakteristik yang berbeda. Desa merupakan entitas sosial yang memiliki identitas dan kelengkapan budaya asli, tradisi atau pranata lokal yang beragam, sebuah pemerintahan yang demokratis, dan pernah memiliki otonomi khas (asli) dalam mengatur kehidupannya sendiri (self governing community).[4] Dalam konstitusi istilah desa sebenarnya tidak pernah ada, konstitusi lebih suka menyebutnya dengan sebutan masyarakat hukum adat, karena penyebutan tersebut memiliki ruh untuk melindungi keberagaman masyarakat Indonesia. Masyarakat hukum adat yang ada di Jawa dan Madura disebut dengan desa, jika di Aceh lebih dikenal dengan istilah gampong, huta di tanah Batak, nagari di Minangkabau, marga di Sumatera Selatan, suku di beberapa daerah Kalimantan, dan lain sebagainya. Van Vollenhoven dalam bukunya Adatrecht I membagi seluruh daerah Indonesia menjadi 19 lingkaran hukum, dan tiap-tiap lingkaran hukum tersebut dapat dibagi-bagi dalam kukuban-kukuban hukum (rechtsgrow) dan didalamnya tidak semua bernamakan desa.[5] Maka hemat penulis pemberian nama desa dalam rancangan undang-undang tentang desa tidak lah tepat, alangkah baiknya jika tetap menggunakan istilah masyarakat hukum adat sesuai dengan amanat konstitusi pasal 18B ayat (2) yang berbunyi “Negara mengakui dan menghormati kesayuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonseia, yang diatur dalam Undang-Undang.”. Tentunya berangkat dari pemberian istilah atau nama ini mampu mencerminkan sejauhmana penghormatan kepada kemajemukan budaya dan adat bangsa Indonesia yang kemudian dilanjutkan dengan perlindungan dengan hak-hak tradisionalnya yang masih hidup.
Lebih lanjut dalam meneropong desa tentu memperhatikan pula semangat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang telah menjadi resultante dari founding father yang tentunya juga diikuti bersama oleh Bangsa Indonesia. Menurut Ir. Soekarno salah satu founding father negara ini mengatakan, yang dimaksud bangsa Indonesia adalah seluruh manusia yang menurut wilayahnya telah ditentukan untuk tinggal secara bersama di wilayah Nusantara dari Ujung Barat (Sabang) sampai ujung Timur (Merauke) yang memiliki “Le Desir d’etre ensemble” dan “Charaktergeimeinschaft” yang telah menjadi satu. Berangkat dari kesatuan bangsa inilah yang menjadikan kesatuan Negara Republik Indonesia.[6] Bentuk Negara Kesatuan ini telah dikuatkan dalam Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 dan kemudian lebih dikuatkan kembali dalam pasal 37 ayat (5) UUD 1945 bahwa bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan. Maka jelas kiranya bahwa walaupun nanti ada otonomi dalam masayarakat hukum adat, bingkai bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara kesatuan tidak dapat ditawar lagi. Prof. Mahfud M.D. mengatakan, bahwa  negara kesatuan adalah konsep ketatanegaraan yang mengatur hubungan kekuasaan (gezagsverhauding) antara pemerintah pusat dan daerah. Maka seluas-luasnya otonomi yang diberikan pemerintah pusat kepada daerah khususnya masyarakat hukum adat, tentu tetap ada hubungan kekuasaan dengan pemerintah pusat.
Keempat pilar ketatanegaraan Indonesia ini harus benar-benar ditegakkan untuk menciptakan sebuah konstruksi pengaturan yang tepat terhadap masyarakat hukum adat. Konstruksi awal dilandasi penjiwaan proklamasi sebagai wujud manifestasi bahwa negara Indonesia telah bebas dari segala macam penindasan dan penjajahan, dan kemudian di ikuti berbagai ornamen berupa teori hukum dan doktrinal, harmonisasi peraturan perundang-undangan mencakup masyarakat hukum adat, serta tujuan agar tercipta masyarakat yang adil dan sejahtera maka inilah sebuah penciptaan peraturan perundang-undangan yang idiil yang harus mampu diciptakan oleh pembuat undang-undang.

         


[1] Jazim Hamidi, Revolusi Hukum Indonesia (Makna, Kedudukan, dan Implikasi Hukum Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945 dalam Sistem Ketatanegaraan RI, 2006, Jakarta: Konstitusi Press, Hlm. 112.
[2] Winarno. Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan. 2007. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
[3] MS. Kaelan. Filsafat Pancasila, Pandangan Hidup Bangsa Indonesia. 2002. Jakarta: Paradigma.
[4] Koentjaraningrat. Masyarakat Desa di Indonesia. 1984. Jakarta: LPFE UI. hlm. 1-8. Lihat juga. Prof.  Sayogo, “Pengantar” dalam Duto Sosialismanto. Hagemoni Negara, Ekonomi Politik Pedesaan di Jawa. 2001. Yogyakarta: LAPERA Pustaka Utama. hlm. xiv-xv. Lihat juga. Didik sukriono. “Memberdayakan Desa Dengan Desentralisasi dan Demokratisasi”. dalam Paradigma Kebijakan Hukum Pasca Reformasi (Dalam Rangka Ultah ke-80 Prof. Solly Lubis). 2010. Jakarta: PT. SOFMEDIA. Hlm. 143. 
[5] Soepomo. Bab-Bab Tentang Hukum Adat. 2007. Jakarta: PT Pradnya Paramita. hlm. 60-61.
[6] Winarno. Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan. 2007. Jakarta: PT. Bumi Aksara.