Oleh; Tahegga Primananda Alfath,
S.H.
Pergerakan reformasi di Indonesia sudah
berlangsung selama 14 tahun (rentang tahun 1998 – 2012), banyak format solusi
bangsa yang dikeluarkan oleh generasi reformis untuk mewarnai negara ini.
Konstitusi mengalami amandemen ke-empat, format kelembagaan negara mengalami
pergeseran, dan berbagai hak asasi manusia coba lebih dilindungi dalam era
reformasi ini. Semangat reformasi yang tidak pernah padam mengantarkan kepada
peninjauan ulang terhadap bentuk pengaturan desa. Pemerintahan desa dianggap
belum mengalami sentuhan reformasi, sehingga berbagai aksi mulai bergejolak
dari desa. Gejolak dari desa ini yang menginisiasi adanya pengaturan baru
tentang pemerintahan desa.
Pemerintahan desa di Indonesia sangat
beragam macamnya, dari sabang sampai merauke tidaklah sama. Pengaturan
pemerintahan desa harus benar-benar memperhatikan berbagai pilar dari bangsa
dan negara ini. 4 (empat) pilar yang fundamental yang harus benar- benar di
perhatikan oleh para pembuat undang-undang adalah Bhinneka Tunggal Ika,
Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945),
dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Lebih jauh lagi penulis mengajak
untuk turut serta menjadikan Naskah Proklamasi sebagai sebuah sumber insipirasi
utama pengaturan tersebut. Dalam prespektif hukum Naskah Proklamasi adalah
naskah tentang proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia.[1] Melalui proklamasi inilah kita menyepakati
untuk merdeka, bersatu dalam suatu negara yang disebut Indonesia, proklamasi
merupakan tindakan tunggal yang meniadakan tatanan hukum kolonial dan di
atasnya dibentuk suatu tatanan hukum baru yaitu hukum nasional. Dan Naskah
Proklamasi adalah alat untuk mengimplementasikan semboyan negara Bhinneka
Tunggal Ika, yang kini semboyan tersebut telah melekat dalam konstitusi (UUD
1945), lihat pada pasal 36A “Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan
Semboyan Bhinneka Tunggal Ika.”, pilar yang tidak boleh terlupakan dalam
ketatanegaraan Indonesia.
Prinsip bhinneka tunggal ika pada
dasarnya adalah kesediaan warga bangsa untuk bersatu dalam perbedaan (unity in diversity). Yang disebut
bersatu dalam perbedaan adalah kesediaan warga bangsa untuk setia pada lembaga
yang disebut negara dan pemerintahnya, tanpa menghilangkan keterikatannya pada
suku bangsa, adat, ras dan agamanya.[2]
Pantas saja jika semboyan pemersatu bangsa ini ditasbihkan oleh banyak ahli
ketatanegaraan sebagai salah satu pilar negara, karena peranannya besar yakni menyangga
agar negara tetap kokoh dalam kesatuan bangsanya. Semboyan ini juga dapat
dijadikan sebagai netralisir gesekan akibat identitas primordialnya. Tudak
dipungkiri setiap desa di Indonesia ini memiliki ke khasannya sendiri, dan
besar daripadanya memiliki sistem hukumnya sendiri pula, maka itulah kebhinnekaan
Indonesia. Maka semangat semboyan binneka tunggal ika ini harus terus terbawa
manakala otonomi desa telah terjadi, bukan kerajaan-kerajaan kecil yang
tercipta melainkan subsistem, susbsistem dari ketatanegaraan Indonesia yang
menopang bangsa dan negara Indonesia untuk terus maju, adil, dan sejahtera.
Meneropong desa yang nantinya
diejawantahkan dalam peraturan, perlu menghadirkan nilai-nilai yang terkandung
dalam Pancasila. Penekanan pada sila ke-3 tentang persatuan dan sila ke-5
tentang keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Kaelan menyatakan perlunya
aktualisasi Pancasila, yang model aktualisasi tersebut dibaginya menjadi dua
macam, yaitu aktualisasi Pancasila secara subyektif, yaitu ralisasi pada setiap
individu dan aktualisasi objek, yaitu realisasi dalam segala aspek kenegaraan
dan hukum.[3] Menghadirkan
pancasila ini mampu menciptakan identitas murni bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia bersatu bukan karena faktor
kesamaan primordial seperti kesamaan bahasa ibu, kesatuan suku, budaya maupun
agama, akan tetapi bersatunya bangsa Indonesia karena faktor historis. Faktor
historis yang dimaksud adalah cita-cita untuk lepas dari belenggu penjajahan
dan bertekad untuk menggapai cita-cita bersama untuk mencapai keadilan dan
kesejahteraan masyarakatnya. Maka pantas jika Pancasila ini diletakkan sebagai groundnorm dalam kehidupan kebangsaan, karena
dalam Pancasila terkandung sebuah idiil bangsa sebagai jawaban dari quo vadis kehidupan
rakyat Indonesia .
Pemerintahan desa sudah ada sejak Negara Indonesia ini telah terbentuk, mereka memiliki suatu sistem kenegaraan yang tersendiri, masing-masing daerah memiliki karakteristik yang berbeda. Desa merupakan entitas sosial yang memiliki identitas dan kelengkapan budaya asli, tradisi atau pranata lokal yang beragam, sebuah pemerintahan yang demokratis, dan pernah memiliki otonomi khas (asli) dalam mengatur kehidupannya sendiri (self governing community).[4] Dalam konstitusi istilah desa sebenarnya tidak pernah ada, konstitusi lebih suka menyebutnya dengan sebutan masyarakat hukum adat, karena penyebutan tersebut memiliki ruh untuk melindungi keberagaman masyarakat Indonesia. Masyarakat hukum adat yang ada di Jawa dan Madura disebut dengan desa, jika di Aceh lebih dikenal dengan istilah gampong, huta di tanah Batak, nagari di Minangkabau, marga di Sumatera Selatan, suku di beberapa daerah Kalimantan, dan lain sebagainya. Van Vollenhoven dalam bukunya Adatrecht I membagi seluruh daerah Indonesia menjadi 19 lingkaran hukum, dan tiap-tiap lingkaran hukum tersebut dapat dibagi-bagi dalam kukuban-kukuban hukum (rechtsgrow) dan didalamnya tidak semua bernamakan desa.[5] Maka hemat penulis pemberian nama desa dalam rancangan undang-undang tentang desa tidak lah tepat, alangkah baiknya jika tetap menggunakan istilah masyarakat hukum adat sesuai dengan amanat konstitusi pasal 18B ayat (2) yang berbunyi “Negara mengakui dan menghormati kesayuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonseia, yang diatur dalam Undang-Undang.”. Tentunya berangkat dari pemberian istilah atau nama ini mampu mencerminkan sejauhmana penghormatan kepada kemajemukan budaya dan adat bangsa Indonesia yang kemudian dilanjutkan dengan perlindungan dengan hak-hak tradisionalnya yang masih hidup.
Pemerintahan desa sudah ada sejak Negara Indonesia ini telah terbentuk, mereka memiliki suatu sistem kenegaraan yang tersendiri, masing-masing daerah memiliki karakteristik yang berbeda. Desa merupakan entitas sosial yang memiliki identitas dan kelengkapan budaya asli, tradisi atau pranata lokal yang beragam, sebuah pemerintahan yang demokratis, dan pernah memiliki otonomi khas (asli) dalam mengatur kehidupannya sendiri (self governing community).[4] Dalam konstitusi istilah desa sebenarnya tidak pernah ada, konstitusi lebih suka menyebutnya dengan sebutan masyarakat hukum adat, karena penyebutan tersebut memiliki ruh untuk melindungi keberagaman masyarakat Indonesia. Masyarakat hukum adat yang ada di Jawa dan Madura disebut dengan desa, jika di Aceh lebih dikenal dengan istilah gampong, huta di tanah Batak, nagari di Minangkabau, marga di Sumatera Selatan, suku di beberapa daerah Kalimantan, dan lain sebagainya. Van Vollenhoven dalam bukunya Adatrecht I membagi seluruh daerah Indonesia menjadi 19 lingkaran hukum, dan tiap-tiap lingkaran hukum tersebut dapat dibagi-bagi dalam kukuban-kukuban hukum (rechtsgrow) dan didalamnya tidak semua bernamakan desa.[5] Maka hemat penulis pemberian nama desa dalam rancangan undang-undang tentang desa tidak lah tepat, alangkah baiknya jika tetap menggunakan istilah masyarakat hukum adat sesuai dengan amanat konstitusi pasal 18B ayat (2) yang berbunyi “Negara mengakui dan menghormati kesayuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonseia, yang diatur dalam Undang-Undang.”. Tentunya berangkat dari pemberian istilah atau nama ini mampu mencerminkan sejauhmana penghormatan kepada kemajemukan budaya dan adat bangsa Indonesia yang kemudian dilanjutkan dengan perlindungan dengan hak-hak tradisionalnya yang masih hidup.
Lebih lanjut dalam meneropong desa tentu
memperhatikan pula semangat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang telah
menjadi resultante dari founding father yang tentunya juga
diikuti bersama oleh Bangsa Indonesia. Menurut Ir. Soekarno salah satu founding father negara ini mengatakan,
yang dimaksud bangsa Indonesia adalah seluruh manusia yang menurut wilayahnya
telah ditentukan untuk tinggal secara bersama di wilayah Nusantara dari Ujung
Barat (Sabang) sampai ujung Timur (Merauke) yang memiliki “Le Desir d’etre ensemble” dan “Charaktergeimeinschaft”
yang telah menjadi satu. Berangkat dari kesatuan bangsa inilah yang menjadikan
kesatuan Negara Republik Indonesia.[6] Bentuk
Negara Kesatuan ini telah dikuatkan dalam Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 dan
kemudian lebih dikuatkan kembali dalam pasal 37 ayat (5) UUD 1945 bahwa bentuk
Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan. Maka jelas
kiranya bahwa walaupun nanti ada otonomi dalam masayarakat hukum adat, bingkai
bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara kesatuan tidak dapat ditawar
lagi. Prof. Mahfud M.D. mengatakan, bahwa negara kesatuan adalah konsep ketatanegaraan
yang mengatur hubungan kekuasaan (gezagsverhauding) antara pemerintah pusat dan
daerah. Maka seluas-luasnya otonomi yang diberikan pemerintah pusat kepada
daerah khususnya masyarakat hukum adat, tentu tetap ada hubungan kekuasaan
dengan pemerintah pusat.
Keempat pilar ketatanegaraan Indonesia
ini harus benar-benar ditegakkan untuk menciptakan sebuah konstruksi pengaturan
yang tepat terhadap masyarakat hukum adat. Konstruksi awal dilandasi penjiwaan
proklamasi sebagai wujud manifestasi bahwa negara Indonesia telah bebas dari
segala macam penindasan dan penjajahan, dan kemudian di ikuti berbagai ornamen
berupa teori hukum dan doktrinal, harmonisasi peraturan perundang-undangan
mencakup masyarakat hukum adat, serta tujuan agar tercipta masyarakat yang adil
dan sejahtera maka inilah sebuah penciptaan peraturan perundang-undangan yang
idiil yang harus mampu diciptakan oleh pembuat undang-undang.
[1] Jazim Hamidi, Revolusi Hukum
Indonesia (Makna, Kedudukan, dan Implikasi Hukum Naskah Proklamasi 17 Agustus
1945 dalam Sistem Ketatanegaraan RI, 2006, Jakarta: Konstitusi Press, Hlm. 112.
[2] Winarno. Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan. 2007. Jakarta: PT. Bumi
Aksara.
[3] MS. Kaelan. Filsafat Pancasila, Pandangan Hidup Bangsa Indonesia. 2002.
Jakarta: Paradigma.
[4] Koentjaraningrat. Masyarakat Desa di Indonesia. 1984. Jakarta:
LPFE UI. hlm. 1-8. Lihat juga. Prof.
Sayogo, “Pengantar” dalam Duto Sosialismanto. Hagemoni Negara, Ekonomi Politik Pedesaan di Jawa. 2001.
Yogyakarta: LAPERA Pustaka Utama. hlm. xiv-xv. Lihat juga. Didik sukriono. “Memberdayakan
Desa Dengan Desentralisasi dan Demokratisasi”. dalam Paradigma Kebijakan Hukum Pasca Reformasi (Dalam Rangka Ultah
ke-80 Prof. Solly Lubis). 2010. Jakarta: PT. SOFMEDIA. Hlm. 143.
[5] Soepomo. Bab-Bab Tentang Hukum Adat. 2007. Jakarta: PT Pradnya Paramita.
hlm. 60-61.
[6] Winarno. Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan. 2007. Jakarta: PT. Bumi
Aksara.