Jumat, 16 September 2011

Selayang Pandang Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Pasca Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945


Oleh: Tahegga Primananda Alfath
Dewan Perwakilan Daerah secara kelembagaan merupakan sebuah lembaga Negara baru yang terbentuk dari amandemen ketiga dan keempat Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dasar pembentukan lembaga ini adalah perubahan ketiga UUD NRI Tahun 1945 yakni pasal 22C, 22D dan 22 E. dalam dinamika perubahan keempat DPD secara kewenangannya mendapatkan sebuah pengaturan baru, yakni diaturnya DPD sebagai bagian dari MPR. Pengaturan tersebut dapat dilihat dalam pasal 2 ayat (1) dimana disebutkan secara jelas bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan Undang-undang[1].
Secara historis pengaturan kelembagaan DPD tidak dapat dipisahkan dari keberadaan utusan golongan pada masa Orde Baru. Kiprah adanya utusan golongan dalam tubuh MPR tersebut didasari oleh sebuah pemikiran filosofis bahwa dalam MPR, keberadaan lembaga yang mewakuli kepentingan daerah secara wilayah, sebagai pencerminan dari penyuara kepentingan daerah dalam penentuan arah kebijakan Negara.[2] Namun pembentukan kebijakan tersebut, oleh sebagian kalangan dianggap tidak cukup menggambarkan tujuan pembentukan secara nyata. Hal tersebut dapat dilihat ketika keberadaan utusan golongan dalam tubuh MPR juga tak dapat dipisahkan dari kecenderungan wakil-wakil utusan daerah yang tak terlepaskan dari afiliasi terhadap partai politik. Hal tersebut sekali lagi tak dapat dipisahkan dari resistensi partai politik dalam masa Orde Baru.[3]
Arus reformasi yang bergenderang kencang dipenghujung tahun 1998, selaras memunculkan semangat perubahan konstitusi sebanyak empat kali. Perubahan tersebut pada akhirnya mengarahkan pembentukan kelembagaan DPD dalam konstitusi sebagai mana yang dijabarkan diatas, dan secara dasar pembentukannya lembaga ini nantinya diharapkan menjadi pemecah kebuntuan terhadap permasalahan yang muncul di tengah realiata keberadaan utusan daerah dalam tubuh MPR.
Dalam dinamika ketatanegaraan di Indonesia, DPD merupakan satu lembaga Negara di Indonesia yang seyogyanya dapat mengambil peran yang strategis dan optimal dalam perwujudan kesinambungan fungsi kelembagaan. Namun realita yang ada, DPD sebagai representasi masyarakat di daerah hingga saat ini belum mampu berperan secara dinamis, bahkan kewenangan dan fungsi yang tersemat pada DPD tak ubahnya seuah formalitas yang tidak berarah. Hal tersebut dapat dilihat dari kondisi DPD secara kelembagaan itu sendiri, baik secara normatif yang termaktub dalam UUD NRI Tahun 1945 maupun secara etikat baik para elit untuk menuntaskan permasalahan ini.
DPD Menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
DPD menurut ketentuan Pasal 22D UUD NRI Tahun 1945 (a) mengajukan rancangan Undang-Undang tertentu kepada DPR (ayat 1), (b) Ikut memebahas rancangan undang-undang tertentu (ayat 2), (c) memeberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan Undang-Undang APBN dan rancangan undang-undng tertentu (ayat 2), (d) dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan Undang-Undang teretentu (ayat 3). Dengan kata lain, DPD hanya memeberikan masukan, sedangkan yang memutuskan adalah DPR, sehingga DPD ini lebih tepat disebut sebagai Dewan Pertimbangan DPR, karena kedudukannya hanya memeberikan pertimbangan kepada DPR.[4] 
Berdasarkan pasal 223 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah disebut bahwa DPD memeiliki fungsi:
1.    Pengajuan usul kepada DPR mengenai rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah;
2.   Ikut dalam pembahasan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah;
3.  Pemeberian pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang tentang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang uang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama; dan
4. Pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama.
Dalam ketentuan UUD NRI tahun 1945 pasca amandemendan Undang-Undnag No. 27 Tahun 2009, terlihat jelas bahwa DPD tidak mempunyai kewenangan untuk memebentuk undang-undang secara mandiri. Namun dibidang pengawasan, khusus berkaitan dengan kepentingan daerah dan pelaksanaan undnag-undnag teretentu, DPD dapat dikatakan mempunyai kewenangan penuh untuk melakukan pengawasan terhadap kinerja pemerintahan, oleh karena itu di bidang legislasi, kedudukan DPD lebih bersifat penunjang atau auxillary terhadap fungsi DPR, sehingga DPD disebut juga co-legislator dari legislator sepenuhnya (DPR). Oleh karena itu DPD dapat lebih berkonsentrasi dibidang pengawasan sehingga keberadaannya dapat dirasakan efektifitasnya oleh masyarakat di daerah-daerah.[5]
      Pengaturan tentang lembaga DPD tidak dilakukan dengans epenuh hati, dalam arti kewenangan DPD tidak semuanya terakomodasi dalam amanedemen UUD NRI Tahun 1945. Beberapa kewenangan yang dimiliki DPD tidak maksimal sehingga menjadikan lembaga ini tidak dapat berperan seperti yang diharapkan.Pembatasan kewenangan tersebut terbukti menyulitkan DPD dalam menjalankan fungsi dan perannya. Sebagai wakil daerah dalam pengambilan kebiajkaan pemerintahan di tingkat nasional.
DPD tidak memepunyai hak inisiatif sendiri untuk mengajukan rancangan undang-undang, karena harus melalui DPR yang berarti kesemuanaya wewenang penuh di DPR. Eksistensi DPD hanya berada di abwah perintah DPR. Oleh karena itu, tidak salah jika ada yang berpendapat bahwa fungsi dan peran DPD hanya sebagai biro perancang undang-undang bagi DPR atau sekelas Badan Legislasi di DPR.
Dalam melaksanakan fungsi sebagai representasi darah, DPD diberikan beberapa kewenangan oleh Konstitusi Negara yang terjawantahkan dalam pasal 22 C dan 22 D. Terlepas dari beberapa nada sumbang yang mempertentangkan lemahnya kewenangan DPD dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, pada satu sektor, kewenangan DPD akan pengawasan terhadap Undang-undang merupakan satu peran vital, yang seyogyanya dapat dijalankan dengan baik dan secara optimal.
            Dalam Pasal 22 D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, secara jelas dituangkan bahwa;
Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan terhadap Undang-undang, mengenai: Otonomi Daerah, Hubungan Pusat dan Daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, pengelolaan Sumber Daya Alam dan Sumber daya Ekonomi lainnya, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, pajak, pendidikan dan agama, serta menyampaikan hasil pengawasan itu kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindak lanjuti”.
Secara umum, rumusan pasal tersebut, telah mengandung implikasi logis terhadap kewenangan dalam persoalan pengawasan terhadap Undang-undang.
            Kewenangan terhadap pelaksanaan pengawasan terhadap Undang-undang tersebut di satu sisi dapat dianalisa merupakan sebuah unsure pelemah kewenangan kelembagaan DPD itu sendiri. Dalam perspektif pengaturan dalam konstitusi sendiri, apabila ditelaah mengandung aturan yang bersifat imperatif (tidak mewajibkan). Redaksi “dapat” yang melekat pada kewenangan yang termaktub dalam rumusan pasal 22 D tersebut terkesan mengambang. Belum lagi ketika permasalahan tersebut dikaitkan dengan alur mekanisme ketika proses pengawasan tersebut telah dijalankan oleh DPD.[6]
            Alur mekanisme hasil pengawasan yang telah dilakukan oleh DPD tersebut, dalam konstitusi dilanjutkan dengan DPD menyampaikan hasil tersebut kepada DPR. Alur tersebut kembali seakan melemahkan posisi DPD, ketika dalam lanjutan pasal 22 D tersebut dijelaskan bahwa hasil pengawasan nantinya dijadikan bahan pertimbangan DPR untuk ditindak lanjuti. Proses menindaklanjuti hasil pengawasan ini lah yang sarat menimbulkan permasalahan, bagaimana peran DPD sangat lemah dalam alur pelaksanaan proses pengawasan tersebut. 
            Dalam tata tertib DPR mengenai aturan alur progress proses pengawasan Undang-undang, diatur bahwa ketika hasil pengawasan tersebut telah diberikan oleh DPD kepada DPR, hasil tersebut dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dan masukan bagi DPR dan dapat ditindaklanjuti, tanpa diatur mengenai kewajiban apa mengenai proses penindaklanjutan hasil pengawasan yang telah dilakukan oleh DPD. Ironisnya, DPR tidak dipersalahkan, dalam arti tidak ada konsekuensi hukum ketika DPR tidak menindaklanjuti hasil pengawasan terhadap Undang-undang yang diberikan oleh DPD. Dalam tata tertib DPR hanya diatur, ketika DPR tidak menindaklanjuti hasil tersebut, DPD dapat meminta penjelasan kepada pimpinan DPR, dan DPD mendapatkan penjelasan secara tertulis dari DPR.[7]
            Berbagai permasalahan kompleks tersebut secara logis mengarahkan kepada kiprah DPD dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Keoptimalan dilembagakannya DPD sebagai penjelmaan representasi kepentingan daerah masih perlu dikaji lebih dalam, dengan memperhatikan faktor terkait baik dalam politik pembentukannya hingga pengaturan dalam konstitusi yang dirasa kian memberatkan posisi DPD itu sendiri. Perlu kiranya dikaji ulang mengenai eksistensi keberadaan lembaga DPD. Tentu saja hal tersebut juga patut didasari oleh sebuah penegasan arah kelembagaan khususnya sistem parlemen yang akan dianut oleh Indonesia.
 Dalam Pasal 22D ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang berbunyi:
“Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pemebntukan, pemekaran dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta pertimbangan keuangan  pusat dan daerah serta memeberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama.
Dengan demikian hal tersebut lebih mengekerdilkan posisi DPD karena hanya ikut memebahas rancangan undang-undang teretntu, serta memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan APBN, Pajak, Pendidikan dan agama. Berarti DPD tidak punya kewenangan mandiri untuk memebahas suatu rancangan undang-undang. Keikutsertaan DPD dalam membahas rancangan undang-undnag teretentu tergantung pada adanya undangan dari DPR dan hanya sebatas pada pembicaraan tingkat pertama.
Makna pemeberian pertimbangan itu berarti tidak mengikat semuanya tergantung pada pihak yang menerima pertimbangan. Apalagi pertimbangan tersebut diberikan secara tertulis hanya sekedar dijadikan bahan oleh DPR dalam melakukan pembahasan rancangan undang-undang dengan pemerintah.


[1] Sirajudin dkk. Membangun Konstituen Meeting: Memperkuat Kepentingan Daerah dengan Keterbatasan Wewenang DPD. Malang: MCW. 2006
[2] www.kompas.com
[3] Ibid
[4] Isrok, Hukum Tata Negara ’knowladge for what wetenschap voor de praktijk’ (Ilmu Pengetahuan harus Praktis dan Pragmatis Salah satu syarat Ilmu Pengetahuan ), Malang: Penerbit Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, 2008, hal 127
[5] Ibid. Hal 182.
[6] Op. Cit. Sirajudin dkk. Membangun Konstituen Meeting...
[7] Ibid. Sirajudin dkk. Membangun Konstituen Meeting...

Efektivitas Hukum dalam Masyarakat (Prespektif Sosiologi Hukum)


      Oleh Tahegga Primananda Alfath
      A.    Pendahuluan
Masyarakat memerlukan sebuah aturan untuk menciptakan suatu suasana yang harmonis didalam kehidupannya. Aturan tersebut berupa hukum, hukum yang ada dapat merupakan hukum tertulis atau tak tertulis. Hukum yang ada dalam masyarakat ini hendaknya memiliki sebuah dasar hukum yang menjiwai dari keadaan seluruh masyarakaat, memiliki fungsi yang ideal dengan memiliki unsur keadilan, kepastian dan kemanfaatan bagi masyarakat.
Dibuatnya suatu produk hukum yang nantinya akan hidup bersama didalam masyarakat, maka hukum yang dibuat itu memiliki suatu sifat dinamis yang berarti mengikuti perkembangan dari masyarakat. Sehingga adanya sebuah sosiologi hukum itu merupakan ilmu pengetahuan tentang interaksi manusia yang berkaitan dengan hukum didalam kehidupan masyarakat. Nantinya dengan adanya sosiologi hukum ini maka akan diharapkan sebuah kemanfaatan didalamnya, sehingga kita dapat mengetahui dan memahami bagaimana perkembangan hukum yang ada didalam masyarakat, mengetahui efektivitas hukum dalam masyarakat, mampu untuk menganalisa penerapan hukum yang ada didalam masyarakat, dapat mengkonstruksikan fenomena hukum yang terjadi di masyarakat, dan mampu memetakan masalah-masalah sosial dalam kaitan dengan penerapan hukum di dalam masyarakat.
Hukum yang dibuat dan nantinya akan berlaku di masyarakat hendaknya mampu berlaku secara efektif. Sehingga tidak terjadi suatu pemborosan atau yang nantinya menimbulkan ketidakpastian hukum didalam masyarakat. Maka hendaknya ketika hukum didalam suatu masyarakat itu akan dibuat maka memperhatikan berbagai aspek-aspek yang ada di masyarakat. Untuk mampu mengetahui bagaimana efektivitas hukum didalam sebuah prespektif sosiologi hukum mampu diterapkan. Maka dalam tulisan ini akan menjeaskan berkaitan dengan hal tersebut.

      B.     Rumusan Masalah
1. Bagaimana prespektif sosiologi hukum untuk menciptakan efektivitas hukum di dalam masyarakat?

     C.    Pembahasan
Sebelum membahas lebih jauh mengenai efektivitas hukum didalam masyarakat, penulis ingin menjelaskan metode penelitian yang digunakan didalam menganalisa dan memaparkan permasalahan tersebut. Jenis penelitian ini adalah penelitian normatif dengan menggunakan pendekatan analitis (analytical aproach) yaitu dengan menganalisa teori-teori berkaitan dengan efektivitas hukum serta sosiologi hukum. Data primer yang penulis gunakan adalah artikel-artikel dari media cetak maupun elektronik yang berkaitan dengan evektifitas hukum dan sosiologi hukum serta  pendapat para ahli, praktisi dan subyek hukumnya.
Teknik penulisan yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif dengan menguraikan, menjabarkan, dan merangkai konsep maupun teori yang digunakan menjadi untaian kata-kata dalam setiap bagian pembahasannya. Sedangkan untuk teknik analisis bahan dilakukan dengan cara bahan-bahan tersebut dikategorikan, disusun secara sistematis, analisis bahan digunakan untuk menyusun secara sistematis data yang telah diperoleh, menurut Nazir dengan menganalisa data yang ada maka akan diperoleh pemecahan masalah dalam penelitian.[1]
Seringkali kita mengetahui bahwa di dalam masyarakat, hukum yang telah dibuat ternyata tidak efektif didalamnya. Menurut Dr. Syamsuddin Pasamai, SH., MH., dalam bukunya Sosiologi dan Sosiologi Hukum, persoalan efektifitas hukum mempunyai hubungan yang sangat erat dengan persoalan penerapan, pelaksanaan dan penegakan hukum dalam masyarakat demi tercapainya tujuan hukum. Artinya hukum benar-benar berlaku secara filosofis, yuridis dan sosiologis.[2]
Dalam sosiologi hukum, hukum memiliki fungsi sebagai sarana social control yaitu upaya untuk mewujudkan kondisi seimbang di dalam masyarakat, yang bertujuan terciptanya suatu keadaan yang serasi antara stabilitas dan perubahan di dalam masyarakat. Selain itu hukum juga memiliki fungsi lain yaitu sebagai sarana social engineering yang maksudnya adalah sebagai sarana pembaharuan dalam masyarakat. Hukum dapat berperan dalam mengubah pola pemikiran masyarakat dari pola pemikiran yang tradisional ke dalam pola pemikiran yang rasional atau modern.
Efektivikasi hukum merupakan proses yang bertujuan agar supaya hukum berlaku efektif. Keadaan tersebut dapat ditinjau atas dasar beberapa tolok ukur efektivitas. Menurut Soerjono Soekanto bahwa faktor tersebut ada lima, yaitu :
1. Hukumnya sendiri.
2. Penegak hukum.
3. Sarana dan fasilitas.
4. Masyarakat.
5. Kebudayaan.

Faktor Hukum
Hukum berfungsi untuk keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Dalam praktik penyelenggaraan hukum di lapangan ada kalanya terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan. Kepastian Hukum sifatnya konkret berwujud nyata, sedangkan keadilan bersifat abstrak sehingga ketika seseorang hakim memutuskan suatu perkara secara penerapan undang-undang saja maka ada kalanya nilai keadilan itu tidak tercapai. Maka ketika melihat suatu permasalahan mengenai hukum setidaknya keadilan menjadi prioritas utama. Karena hukum tidaklah semata-mata dilihat dari sudut hukum tertulis saja, Masih banyak aturan-aturan yang hidup dalam masyarakat yang mampu mengatur kehidupan masyarakat. Jika hukum tujuannya hanya sekedar keadilan, maka kesulitannya karena keadilan itu bersifat subjektif, sangat tergantung pada nilai-nilai intrinsik subjektif dari masing-masing orang. Menurut Prof. Dr. Achmad Ali apa yang adil bagi si Baco belum tentu di rasakan adil bagi si Sangkala.
Mengenai faktor hukum dalam hal ini dapat diambil contoh pada pasal 363 KUHP yang perumusan tindak pidananya hanya mencantumkan maksimumnya sajam, yaitu 7 tahun penjara sehingga hakim untuk menentukan berat ringannya hukuman dimana ia dapat bergerak dalam batas-batas maksimal hukuman.
Oleh karena itu, tidak menutup kemungkinan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku kejahatan itu terlalu ringan, atau terlalu mencolok perbedaan antara tuntutan dengan pemidanaan yang dijatuhkan. Hal ini merupakan suatu penghambat dalam penegakan hukum tersebut.

Faktor Penegak Hukum
Dalam berfungsinya hukum, mentalitas atau kepribadian petugas penegak hukum memainkan peranan penting, kalau peraturan sudah baik, tetapi kualitas petugas kurang baik, ada masalah. Oleh karena itu, salah satu kunci keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau kepribadian penegak hukum dengan mengutip pendapat J. E. Sahetapy yang mengatakan :
Dalam rangka penegakan hukum dan implementasi penegakan hukum bahwa penegakan keadilan tanpa kebenaran adalah suatu kebijakan. Penegakan kebenaran tanpa kejujuran adalah suatu kemunafikan. Dalam kerangka penegakan hukum oleh setiap lembaga penegakan hukum (inklusif manusianya) keadilan dan kebenaran harus dinyatakan, harus terasa dan terlihat, harus diaktualisasikan”.[3]
Di dalam konteks di atas yang menyangkut kepribadian dan mentalitas penegak hukum, bahwa selama ini ada kecenderungan yang kuat di kalangan masyarakat untuk mengartikan hukum sebagai petugas atau penegak hukum, artinya hukum diidentikkan dengan tingkah laku nyata petugas atau penegak hukum. Sayangnya dalam melaksanakan wewenangnya sering timbul persoalan karena sikap atau perlakuan yang dipandang melampaui wewenang atau perbuatan lainnya yang dianggap melunturkan citra dan wibawa penegak hukum, hal ini disebabkan oleh kualitas yang rendah dari aparat penegak hukum tersebut.
Apalagi seperti yang kita ketahui bersama terkait masalah persetruan dua lembaga penegak hukum KPK dengan Kepolisian telah membuat citra aparaturnya menjadi buruk dihadapan masyarakat. Ditambah pula dengan banyaknya kasus-kasus yang seharusnya dihukum berat namun dapat diperingan karena dibantu oleh mafia hukum, yaitu muali tingkat penyidikan di kepolisian hingga saat penuntutan di kejaksaan dan putusan di kehakiman. Mental Para aparatur penegak hukum inilah menjadi salah satu faktor dimana efektivitas hukum itu dapat terwujud, selama kemapuan dan kewenangan mereka dapat dibeli, yang benar disalahkan dan yang salah dibenarkan akan terjadi inefektivitas hukum dan mampu mengakibatkan masyarakat tidak percaya lagi dengan penegak hukum bahkan hukumnya sendiri.
Kemudian meurut Prof. Dr. Achmad Ali, SH., MH., dalam bukunya menjelajahi kajian empiris terhadap hukum, disebutkan Polisilah yang berada pada garda terdepan. Karena polisi yang paling banyak berhubungan langsung dengan warga masyarakat, dibandingkan dengan penegak hukum lainnya. Oleh karena itu sikap dan keteladanan personal kepolisian menjadi salah satu faktor dihargai atau tidaknya mereka oleh warga masyarakat terhadap penegak hukum, yang cukup berpengaruh terhadap ketaatan mereka. Olehnya itu, kualitas dan keberdayaan Polisi menurut Prof. Dr. Achmad Ali, SH., MH., merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan efektif atau tidaknya ketentuan hukum yang berlaku.
Faktor Sarana dan Fasilitas
Sarana yang ada di Indonesia sekarang ini memang diakui masing cukup tertinggal jika dibandingkan dengan negara-negara maju yang memiliki sarana lengkap dan teknologi canggih di dalam membantu menegakkan hukum. Menurut Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah pernah mengemukakan bahwa bagaimana polisi dapat bekerja dengan baik, apabila tidak dilengkapi dengan kendaraan dan alat-alat komunikasi yang proporsional. Oleh karena itu, sarana atau fasilitas mempunyai peranan yang sangat penting di dalam penegakan hukum. Tanpa adanya sarana atau fasilitas tersebut, tidak akan mungkin penegak hukum menyerasikan peranan yang seharusnya dengan peranan yang aktual. Namun penulis berpendapat bahwa faktor ini tidaklah menjadi fakor yang dominan untuk segera diperbaiki ketika ingin terwujudnya suatu efektivitas hukum.
 Faktor Masyarakat
Masyarakat dalam hal ini menjadi suatu faktor yang cukup mempengaruhi juga didalam efektivitas hukum. Apabila masyarakat tidak sadar hukum dan atau tidak patuh hukum maka tidak ada keefektifan. Kesadaran hukum merupakan konsepsi abstrak didalam diri manusia, tentang keserasian antara ketertiban dan ketentraman yang dikehendaki atau sepantasnya. Kesadaran hukum sering dikaitkan dengan pentaatan hukum, pembentukan hukum, dan efektivitas hukum. Kesadaran hukum merupakan kesadaran atau nilai-nilai yang terdapat dalam manusia tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan.[4]
Sebagai contoh. Disuatu daerah Kabupaten L masyarakat tahu bahwa ketika berkendara di jalan raya itu harus mengunakan helm untuk keselamatan, tapi masyarakat sekitar tersebut tidak menghiraukan peraturan tersebut justru mereka tidak menggunakan helm tersebut.
Selain itu perlu ada pemerataan mengenai peraturan-peraturan keseluruh lapisan masyarakat, selama ini terkendala faktor komunikasi maupun jarak banyak daerah yang terpencil kurang mengetahui akan hukum positif negara ini. Sehingga sosialisasi dan penyuluhan di daerah terpencil sangat dibutuhkan, berbeda dengan kondisi daerah perkotaan yang mampu selalu up date berkaitan dengan isu-isu strategis yang masih hangat.
Faktor Kebudayaan
Kebudayaan menurut Soerjono Soekanto, mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia dan masyarakat, yaitu mengatur agar manusia dapat mengerti bagaimana seharusnya bertindak, berbuat, dan menentukan sikapnya kalau mereka berhubungan dengan orang lain. Dengan demikian, kebudayaan adalah suatu garis pokok tentang perikelakuan yang menetapkan peraturan mengenai apa yang harus dilakukan, dan apa yang dilarang.[5]
 Kelima faktor di atas saling berkaitan dengan eratnya, karena menjadi hal pokok dalam penegakan hukum, serta sebagai tolok ukur dari efektifitas penegakan hukum. Kelima faktor yang dikemukakan Soerjono Soekanto tersebut, tidak ada faktor mana yang sangat dominan berpengaruh, semua faktor tersebut harus saling mendukung untuk membentuk efektifitas hukum. Lebih baik lagi jika ada sistematika dari kelima faktor ini, sehingga  hukum dinilai dapat efektif.
Sistematika tersebut artinya untuk membangun efektifitas hukum harus diawali untuk mempertanyakan bagaimana hukumnya, kemudian disusul bagaimana penegak hukumnya, lalu bagaimana sarana dan fasilitas yang menunjang, kemudian bagaimana masyarakat merespon serta kebudayaan yang terbangun.


[1] Dikutip dari Buku karangan Nazir yang berjudul Metode Penelitian terbitan tahun 1988.
[2] Dikutip dari http://ilhamidrus.blogspot.com/2009/06/artikel-efektivitas-hukum.html diakses pada tanggal 31 Desember 2009.
[4] Berkaitan dengan kesadaran hukum dikutip dari http://balianzahab.wordpress.com/makalah-hukum/sosiologi-hukum-2/sosiologi-hukum/ yang diakses pada tanggal 31 Desember 2009
[5] Dikutip dari http://ilhamidrus.blogspot.com/2009/06/artikel-efektivitas-hukum.html diakses pada tanggal 31 Desember 2009.

Mengagas Sistem Kampanye Berbasis Kearifan Lokal Sebagai Sarana Pembelajaran Politik Rakyat Jawa Timur Dalam Mewujudkan Pemilihan Kepala Daerah yang Karta Tuwin Raharja



Oleh: Anggi V. Goenadi dan Tahegga Primananda Alfath

      A.    PENDAHULUAN
1.1     Latar Belakang Permasalahan
Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung sebagai momentum suksesi kepemimpinan di daerah, dewasa ini telah menjadi sebuah momen yang sangat menentukan nasib satu daerah terkait. Keterlibatan rakyat secara langsung dalam Pilkada, berimbas pada dua dampak langsung yang melekat pada pelaksanaannya. Di satu sisi keterlibatan rakyat tersebut merupakan satu hal yang positif, yakni mulai terbangunnya satu pilar demokrasi di mana keterlibatan tersebut telah menguatkan kesejajaran rakyat sebagai subjek. Namun di sisi lain keberadaan suksesi kepemimpinan secara langsung yang tidak dibarengi oleh kemandirian dan kapasitas rasional yang tercermin dari minimnya pengetahuan dan kesadaran politik dengan baik, tak lebih hanya mengarahkan rakyat sebagai objek politik semata.
Secara umum pelaksanaan Pilkada secara langsung, merupakan amanat terkhusus dari hasil amandemen konstitusi Negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).[1] Keharusan dijadikannya demokrasi sebagai dasar pelaksanaan Pilkada merupakan amanat konstitusi yang dijawantahkan dalam konsepsi Pilkada langsung yang dewasa ini secara substansial telah menunjukan urgensi penting pelaksanaannya. Begitu vitalnya keberadaan penyelenggaraan suksesi kepemimpinan lewat momen Pilkada, telah menunjukan betapa besarnya nilai luhur demokrasi dalam esensi penyelenggaraan Pilkada itu sendiri. Bahkan gagal tidaknya satu penyelenggaraan Pilkada, tak jarang dijadikan sebagai indikator demokratis tidaknya pelaksanaan Pilkada tersebut.[2]
Pilkada langsung merupakan satu tahap pencapaian kemajuan perkembangan demokrasi di tanah air. Pencapaian perkembangan demokrasi tersebut sangat terkait dengan variabel masyarakat sebagai subjek di dalamnya. Tingkat pengetahuan dan kesadaran masyarakat dalam menyikapi momentum Pilkada, merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap proses demokratisasi suksesi Pilkada tersebut. Tingkat pengetahuan dan kesadaran masyarakat tersebut dalam perspektif momentum pilkada, dapat tercipta melalui tahapan-tahapan dalam mekanisme penyelenggaraan Pilkada itu sendiri, tahapan kampanye adalah satunya.
Kampanye merupakan satu tahapan yang sangat menentukan dalam suksesi penyelenggaraan Pilkada. Sistem kampanye yang ideal akan sejalan mewujudkan sarana pembelajaran yang efektif tentang politik bagi rakyat. Pembelajaran politik yang tercipta oleh tahapan kampanye yang ideal ini lah yang nantinya akan mempengaruhi kadar kesadaran politik bagi rakyat terhadap pelaksanaan kehidupan politik, khusus nya di daerah yang salah satunya melalui wadah Pilkada. Dalam upaya pencapaian hal tersebut, seyogyanya sistem kampanye haruslah memposisikan diri sebagai representasi dari kehendak rakyat.
Implementasi dari sistem kampanye yang berjalan beriringan dengan dinamika perkembangan masyarakat, dalam hal ini terkhusus terhadap masyarakat Jawa Timur, adalah sebuah sistem kampanye yang berbasis kearifan lokal masyarakat, di mana karakteristik masyarakat yang ada di dalamnya merupakan pijakan dasar pergerakan sistem tersebut. Ketika sebuah sistem tersebut telah berada dekat dengan masyarakat yang berfungsi ganda (di satu sisi sebagai subjek pelaku dan di sisi lain sebagai objek perlakuan sistem), diharapkan fungsi dari pilar kampanye akan benar-benar terwujud, yakni sebagai wadah pembelajaran politik bagi rakyat.
Pendekatan kampanye yang berbasis kearifan lokal tersebut merupakan satu urgensi penting terhadap penyelenggaraan suksesi kepemimpinan melalui momen pilkada di Jawa Timur. Pendekatan tersebut tentu saja harus didasarkan pada kedinamisan dan karakteristik masyarakat Jawa Timur yang sangat plural. Pendekatan sistem yang di dasarkan pada kearifan lokal masyarakat Jawa Timur ini, yang diharapkan dapat meredam kecenderungan terjadinya polarisasi konflik dalam kaitannya dengan potensi terjadinya kekerasan dalam Pilkada.
            Ketika satuan fungsi dalam sistem kampanye sebagai satu pilar demokrasi dalam penyelenggaraan suksesi kepemimpinan di daerah lewat momen Pilkada telah terbangun dengan basis pondasi berupa kearifan lokal yang diharapkan mampu berjalan beriringan dengan dinamika kehidupan masyarakat, sebuah luaran berupa kesadaran politik dalam arti luas akan benar-benar terwujud bagi masyarakat.[3] Kesadaran politik yang riil terjadi dalam masyarakat tersebut secara langsung akan menghasilkan keteraturan dan ketentraman hidup yang terjawantahkan utuh dalam konsep kepemimpinan jawa, yakni Anjaga Tata Titi Tentreming Praja (terjaganya keteraturan dan ketentraman hidup).
Pencapaian keteraturan dan ketentraman hidup dalam masyarakat lewat sebuah sistem yang ideal dan di dasarkan pada kearifan lokal yang berkorelasi dengan dinamika karakteristik masyarakat tersebut, yang secara langsung menciptakan suksesi kepemimpinan daerah lewat penyelenggaraan pilkada yang Kerta Tuwin Raharja, yakni Pilkada yang aman dan dapat mensejahterakan rakyat. Di mana ketika suksesi kepemimpinan sudah mampu menciptakan sebuah kondisi yang aman dalam artian bebas konflik, secara langsung kompetisi sehat yang berada di dalam penyelenggaraan Pilkada tersebut akan mensejahterakan rakyat dengan menelurkan sebuah sosok pemimpin yang ideal, di mana kebijaksanaan, budi luhur, dan keadilan merupakan satu pijakan dasar kepemimpinannya, yang tercermin pula pada falsafah kepemimpinan Jawa, Wicaksana, ber Budi Bawa Leksana, Ambeg, Adil Para Marta.

1.2     Rumusan Masalah
Dari latar belakang permasalahan diatas, dapat ditarik rumusan permasalahan sebagai berikut:
  1. Bagaimana relevansi sistem kampanye terhadap suksesi kepemimpinan daerah lewat penyelenggaraan Pilkada?
  2. Bagaimana konsep sistem kampanye berbasis kearifan lokal sebagai sarana pembelajaran politik dalam mewujudkan pilkada yang Kerta tuwin raharja?
1.3     Tujuan Penulisan
Dari rumusan permasalahan diatas, tujuan penelitian dari karya tulis ini adalah sebagai berikut:
1.     Untuk dapat mendeskripsikan dan menganalisa relevansi sistem kampanye yang dianut terhadap suksesi kepemimpinan daerah dalam penyelenggaraan Pilkada
2.     Untuk dapat mendeskripsikan dan menganalisa konsep sistem kampanye berbasis kearifan lokal sebagai sarana pembelajaran politik dalam mewujudkan pilkada yang Kerta tuwin raharja.

1.4     Mamfaat Penulisan
Manfaat teoritis: memberikan sumbangan bagi ilmu hukum dan politik khususnya dalam menyikapi persoalan suksesi pemilihan umum dan keterkaitannya dengan sistem kampanye.
Manfaat praktis
1.      Bagi Pihak Pemerintah
            Karya tulis ini diharapkan dapat menjadi sebuah evaluasi terhadap konsep kampanye dalam suksesi kepemimpinan baik dalam sekala darah maupun nasional, dan dapat menjadi referensi pertimbangan dan alternatif solusi dalam permasalahan konsep kampanye berbasis kearifan local dalam mewujudkan suksesi kepemimpinan yang Kerta tuwin raharja.
2.      Bagi Pihak Komisi Pemilihan Umum Daerah
            Karya tulis ini diharapkan dapat menjadi sebuah alternatif solusi dalam permasalahan konsep kampanye berbasis kearifan lokal dalam mewujudkan pilkada yang Kerta tuwin raharja.
3.      Bagi Pihak Calon Pemimpin daerah
            Karya tulis ini diharapkan dapat menjadi bahan evaluasi mengenai konsep kampanye yang dilakukan dalam upaya pembelajaran politik bagai masyarakat dalam perwujudan pilkada yang Kerta tuwin raharja.
4.      Bagi Masyarakat
            Karya tulis ini diharapkan dapat menjadi referensi terhadap permasalahan kampanye suksesi kepemimpinan, di mana masyarakat secara umum merupakan objek sekaligus subjek pelaku.
            Karya tulis ini juga kami harapkan dapat dijadikan satu referensi bagi masyarakat, terhadap system kampanye yang dapat menjadi sarana pembelajaran politik dan dapat menumbuhkan partisipasi masyarakat dalam politik.

      B.     TINJAUAN PUSTAKA
1.1    Sistem Kampanye Pilkada
Sebuah sistem kampanye yang baik idealnya harus terhindar dari tindakan kekerasan, black campaine, money politic dan high cost politic. Selanjutnya kampanye yang ideal adalah kampanye yang berhasil membawa pesan kampanye kepada masyarakat sehingga dapat berfungsi sebagai medium sosialisasi politik dan pendidikan politik. Dapat dikatakan sebagai kampanye yang mendidik ketika kampanye tersebut dilakukan secara persuasif, menghindari cara-cara represif sehingga kampanye benar-benar akan menjadi wahana pengembangan pengetahuan dan penalaran politik. Pengembangan pengetahuan ini akan mentrasformasi perilaku politik massa menjadi lebih matang, dewasa dan rasional.
Secara empiris setidak-tidaknya terdapat tujuh tindakan atau perilaku yang tidak boleh dilakukan dalam kampanye, antara lain:
1.      Menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, pasangan calon dan/atau partai politik
2.      Manghasut dan mengadu domba parpol, perseorangan, dan/atau kelompok masyarakat
3.      Mengganggu keamanan, ketentraman, dan ketertiban umum
4.      Merusak dan/atau menghilangkan alat peraga kampanye pasangan calon lain
5.      Menggunakan fasilitas dan anggaran pemerintah dan pemerintah daerah
6.      Menggunakan tempat ibadah dan tempat pendidikan
7.      Melakukan pawai atau arak-arakan yang dilakukan dengan berjalan kaki dan/atau dengan kendaraan di jalan raya.[4]

1.2    Kearifan Lokal
Menurut I Nyoman Nurjaya, kearifan lokal adalah tata nilai yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat lokal (indigenous people atau adat community) sebagaimana tercemin dalam sistem pengetahuan, teknologi, institusi tradisi-tradisi termasuk sistem norma hukum lokal, yang secara nyata dioperasikan untuk menjaga keteraturan hubungan masyarakat dengan penciptanya, hubungan antar warga masyarakat dengan lingkungan alamnya.[5]
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kearifan mempunyai arti kebijaksanaan atau kemafhuman. Sedangkan lokal mempunyai arti daerah tertentu. Kata kearifan lokal biasanya digunakan untuk membedakan dua sistem pengembangan kemampuan teknologi dan pengetahuan. Kata itu tidak mengacu pada kepentingan sebuah sistem pengetahuan yang sangat kuno, tetapi digunakan untuk sebuah teknologi dan pengetahuan yang berbasis pada masyarakat pada daerah tersebut.

1.3    Karakteristik Rakyat Jatim
Menurut Daniel Sparringa, dosen Sosiologi Universitas Airlangga Surabaya, peta sosiokultural masyarakat Jawa Timur dapat dibagi berdasarkan etnis dan kultural. Dalam hal ini Daniel Sparringa mencoba mengelompokkan masyarakat Jawa Timur berdasarkan tiga arus utama, meliputi pengelompokkan etnokultural utama, divisi kultural, dan polarisasi berdasarkan ideologi. Pengelompokan masyarakat Jawa Timur berdasarkan tiga karakteristik tersebut, didasarkan atas karakteristik baik nominal maupun gradual yang secara lebih rinci dapat diraikan sebagai berikut,
Pengelompokan pertama didasarkan pada pengelompokan terhadap etnokultural utama. Pengelompokan ini didasarkan pada sub kultur masyarakat Jawa Timur menurut arus utama yang meliputi; kelompok masyarakat “Maduran”, kelompok masyarakat “arek” yang merupakan masyarakat yang mengunakan dialek “Suroboyoan”, kelompok masyarakat “Mataraman”, kelompok masyarakat “Samin”, kelompok masyarakat “Osing”, kelompok Tionghoa, dan kelompok masyarakat keterunan Arab. Polarisasi ini merupakan karakteristik etnokultural utama masyarakat JawaTimur, disamping keberadaan kelompok-kelompok kultural masyarakat yang merupakan akulturasi-akulturasi yang tercipta, seperti kelompok masyarakat “Panaragan” dan “Tengger”.
Pengelompokan berdasarkan divisi kultural penting lainnya, merupakan pengelompokan kedua masyarakat Jawa Timur. Pengelompokan masyarakat pada golongan ini didasarkan pada karakteristik hubungan sosial dalam masyarakat yang bersifat diametral (saling berhadap-hadapan). Pengelompokan masyarakat berdasarkan karakteristik ini meliputi hubungan, urban–rural, pesisir–pedalaman, agraris–industrial, santri –abangan.
Pengelompokan masyarakat yang terakhir ialah dengan pengelompokan berdasarkan polarisasi berdasarkan ideologi “Politik”. Polarisasi masyarakat berdasarkan ideologis “politik” ini merupakan wujud insting manusia dalam mengapresiasikan kepentingan dan keberpihakannya dalam kehidupan sosial dan politik. Polarisasi ini merupakan manifestasi atas segala kebutuhan, maupun keberpihakan sebagai dampak terbentuknya struktur sosial, baik yang berdasarkan nominal maupun gradual.[6]

1.4    Konsep Pilkada Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala daerah, atau seringkali disebut Pilkada, adalah pemilihan umum untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala daerah secara langsung di Indonesia. Pilkada langsung, pada mulanya ingin mengembalikan kesadaran berdemokrasi pada hakikat sesungguhnya. Pilkada langsung memberikan hak penuh kepada rakyat untuk menentukan siapa yang berhak untuk dijadikan pemimpinnya. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 (UU No. 32 Tahun 2004) mengintrodusir sistem pemilihan kepala daerah secara langsung. Hal ini diatur di dalam pasal 65 sampai dengan pasal 118, kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang telah diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.
Pergantian sistem pemilihan kepala daerah tersebut karena sistem sebelumnya, yakni pemilihan kepala daerah melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) tidak memberikan legitimasi yang besar pemimpin daerah. DPRD dalam proses pemilihan kepala daerah ternyata lebih memperhatikan suara partai politik dibandingkan dengan suara rakyat yang sesungguhnya sebagai pemegang kedaulatan, termasuk dalam pemilihan kepala daerah. Adanya Undang-Undang Nomor 12 tahun 2008 yang merubah sebagian dari UU No. 32 tahun 2004 mengenai kepala daerah dan wakil kepala daerah tidak hanya yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik saja yang dapat mengikuti Pilkada langsung, namun perihal pasangan calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang juga dapat mengikutinya.[7]
 
1.5    Konsep Karta Tuwin Raharja, Anjaga Tata Titi Tentreming Praja, Wicaksono, Berbudi Bawa Leksana, Ambeg Adil Para Marta
Kekuasaan raja menurut konsep Jawa bersifat absolut (mutlak), yang dalam bahasa pewayangan dikatakan "gung binathara bau dhendha nyakrawati" (sebesar kekuasaan dewa, pemelihara hukum dan penguasa dunia). Maka dari itu raja dikatakan sebagai "wenang wisesa ing sanagari" (memegang kekuasaan tertinggi di seluruh negeri). Namun, demikian tidak berarti bahwa raja selalu bersifat sewenang-wenang. Dalam pandangan hidup Jawa, kekuasaan yang besar yang diberikan kepada raja diimbangi dengan ketentuan bahwa raja harus "wicaksana, ber budi bawa leksana, ambeg, adil para marta" (bijaksana, sempurna budi luhur-mulia dan sifat adilnya terhadap sesama). Di samping itu, raja juga bertugas "anjaga tata titi tentreming praja" (menjaga keteraturan dan ketenteraman hidup rakyat), sehingga terwujud suasana "karta tuwin raharja" (aman dan sejahtera).[8] Itulah filsafat kekuasaan Jawa, yang oleh dikatakan sebagai doktrin ke-agungbinatara-an, sehingga kalau kekuasaan dan tugas raja yang termuat dalam ajaran itu dipraktekkan secara tepat oleh setiap pemimpin yang akan memimpin di daerahnya, maka kiranya itulah sosok seorang pemimpin yang ditunggu oleh masyarakat.

   C.    PEMBAHASAN
  1.  Relevansi Sistem Kampanye yang Dianut terhadap Suksesi Kepemimpinan Daerah dalam Penyelenggaraan Pilkada
Kampanye dalam sebuah pemilu merupakan kegiatan peserta pemilu untuk meyakinkan peserta pemilih dengan menawarkan visi, misi dan program dari peserta pemilu. Secara umum perihal pengaturan kampanye daerah tidaklah berbeda jauh dengan pengaturan kampanye dalam pemilihan presiden yang terdahulu. Yang membuat berbeda ialah lingkupnya, serta apabila kampanye dalam pilkada ini harus mampu menyesuaikan format lokal daerah yang mengadakan pesta demokrasi lokal ini.
Sebuah kampanye memerlukan sebuah sistem agar pelaksanannya berjalan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Sistem dapat diartikan sebagai suatu kesatuan yang bersifat kompleks, yang terdiri dari bagian-bagian yang berhubungan satu sama lain. Terhadap aturan mengenai sistem kampanye sebagai satu tahapan dalam penyelenggaraan pemilu, Pemerintah sebagai struktur, telah mengeluarkan aturan yang bersifat teknis dalam pelaksanaannya. Terhadap pengaturan hal tersebut, secara garis besar diataur  pada Pasal 75 sampai dengan Pasal 85 UU No. 32 Tahun 2004.
Dalam Pasal 75 sampai dengan pasal 85 secara umum menjelaskan mengenai keharusan bagi peserta pilkada untuk memperhatikan kaidah hukum yang berlaku. Secara teknis rumusan pasal ini menjelaskan kapan waktu kampanye dilaksanakan, bagaimana kampanye itu dilaksanakan, larangan kampanye yang tidak memuat unsur sara mengundang sebuah kerusuhan dan mengganggu ketertiban umum, serta pengaturan tentang dana kampanye. Hal ini dibutuhkan agar sebuah sistem dalam kampanye itu berjalan dengan baik.
Merujuk pula dalam Peraturan Pemerinah (PP)  Nomor 6 Tahun 2005 sebagai petunjuk pelaksanaannya mengatur perihal dalam kebebasan rakyat untuk menghadiri kampanye. Kampanye dilakukan selama 14 (empat belas) hari dan berakhir 3 (tiga) hari sebelum hari dan tanggal pemungutan suara yang merupakan masa tenang. Di dalam PP ini juga menjelaskan secara jelas mengenai bagaimana pengaturan pelaksanaan kampanye, bentuk kampanye, larangan dalam kampanye, dan dana kampanye. Dari keseluruhan yang diatur dalam undang-undang maupun dalam PP itu merupakan sebuah sub sistem yang akan menjadi sistem dalam sebuah kampanye.
Kampanye secara Das Sollen dinilai sebagai satu wadah untuk mengimplementasikan salah satu fungsi partai politik, yaitu sebagai sarana komunikasi. Kampanye merupakan sarana sosialisasi dari partai politik (Political socialization) kepada masyarakat. Seyogyanya kampanye merupakan satu wadah penyampaian sebuah ide, visi dan kebijakan strategis yang menjadi pilihan dari partai politik kepada masyarakat. Selain itu media kampanye juga berfungsi sebagai sarana pendidikan politik bagi masyarakat. Kampanye sebagai media, Partai menjadi “struktur-antara” atau intermediete structure yang harus memainkan peran dalam membumikan cita-cita kenegaraan dalam kesadaran kolektif masyarakat warga negara.[9]
   Setelah sebuah sistem dalam kampanye itu berjalan dengan baik dan masyarakat sadar akan politik maka masyarakat diharapkan mampu memilih seorang pemimpin yang ideal, dalam artian tidak hanya terpaku dengan profil dari calon yang ditawarkan tetapi hal yang lebih substansial yang menjadi titik tekan masyarakat dalam memilih. Kaitannya perihal yang substansial adalah visi dan misi serta kebijakan yang akan diperbuat untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dialami daerahnya oleh calon pemimpin untuk memiliki kapabilitas menjadi seorang pemimpin.
Sistem kampanye dapat dikatakan baik, ketika mampu beiringan dengan dinamika masyarakat. Dinamika mayarakat dalam hal ini ialah karakteristik dari daerah itu sendiri, dalam hal ini masyarakat Jawa Timur. Masyarakat Jawa Timur memilki karakteristik yang lebih terbuka dan spontan ketika berpendapat, namun juga ada masyarakat yang mendekati atau berada dalam perbatasan, terpengaruh dengan budaya dari Jawa Tengah yang lebih halus dan sopan daripada yang ada di daerah timur. Pengelompokan etnokultural utama ini penting dikaji, mengingat perbedaan budaya dan karakteristik masyarakat selain sebagai khazanah kekayaan budaya bangsa, juga merupakan faktor pemicu dan pemantik terjadinya konflik dalam masyarakat.
Pendekatan kultural dengan mengikuti kedinamisan masyarakat merupakan satu urgensi dalam peletakan dasar sistem kampanye di Indonesia. Penetapan dasar sistem kampanye secara normatif di Indonesia dewasa ini, penting untuk kembali di kaji, mengingat beberapa konflik Horizontal terjadi dibeberapa penyelenggaraan Pilkada. Hal tersebut menunjukan bahwa produk hukum di Indonesia mengenai aturan sistem kampanye di Indonesia masih belum mampu mengikuti kedinamisan masyarakat.   

  2.    Konsep Sistem kampanye berbasis kearifan lokal dalam Mewujudkan Pilkada yang Kerta Tuwin Raharja

Kekuatan Pilkada Langsung terletak pada pembentukan dan implikasi legitimasi sosok pemimpin oleh masyarakat. Dalam konsep Civil Liberty Demokrasi dikaitkan erat dengan kompetisi, partisipasi dan kebebasan rakyat. Kompetisi dalam konsep demokrasi ini lah yang dapat terjawantahkan dalam  suksesi kepemimpinan, dalam hal ini Pilkada.[10] Penegakan pilar demokrasi dalam penyelenggaraan Pilkada tersebut, tentunya harus dibarengi oleh sebuah sistem yang ideal dalam setiap tahapannya, terkhusus mengenai sistem kampanye.
            Pendewasaan politik dewasa ini tidak lagi harus dimuarakan dalam kesiapan masyarakat sebagai objek perlakuan sistem. Pendewasaan politik dan demokratisasi tersebut seyogyanya terjawantahkan lewat sistem kampanye yang mampu mengikuti dinamika masyarakat, dan mampu memposisikan diri dalam perspektif rakyat dalam menjalankan fungsinya. Dengan pelaksanaan fungsi tersebut diharapkan seminimal mungkin sistem yang terancangkan tersebut dapat benar-benar membawa implikasi positif terhadap upaya pendewasaan politik bagi masyarakat.
            Secara umum, sistem kampanye dapat lah diidentifikasikan kedalam beberapa model, yaitu yang pertama sistem kampanye massa yang meliputi, kampanye tatap muka di depan khalayak massa, kampanye melalui media elektronik radio, televisi dan juga telephon, maupun kampanye melalui media cetak-surat kabar, stiker, poster dan lain-lain. Pengidentifikasian yang kedua adalah  kampanye inter personal dan yang terakhir adalah kampanye organisasi. Dari ketiga pengidentifikasian kampanye di atas yang paling dikhawatirkan adalah kemungkinan timbulnya ekses dari model kampanye massa. Model kampanye ini dilakukan dengan cara mengakumulasi jumlah khalayak yang banyak, yang sangat rentan sekali dengan pemunculan konflik horizontal.[11]

2.1  Realitas Permasalahan Konsep Kampanye Konvensional
Secara umum, kampanye yang ideal adalah kampanye yang berhasil membawa pesan inti dari kampanye tersebut kepada masyarakat sehingga dapat berfungsi sebagai media sosialisasi dan pendidikan politik bagi masyarakat. Keberadaan kampanye dalam penyelenggaraan suksesi kepemimpinan merupakan satu pilar penting dalam menarik minat keterlibatan rakyat sebagai subjek. Namun secara empiris tujuan utama dari tahapan kampanye dalam suksesi kepemimpinan lewat Pilkada belum mampu terimplementasikan secara utuh.[12]
Kenyataan di lapangan bahwa tahapan kampanye dalam Pilkada tak ayal hanya berisikan hal-hal yang bersifat ceremonial di mana daya pikat masyarakat hanya di titik beratkan pada ketertarikan masyarakat terhadap hiburan yang disajikan dan bukan terkhusus mengenai substansi pokok yang diangkat. Sudah menjadi sebuah tren dalam pelaksanaan kampanye di Indonesia, dimana Public Figure dijadikan garda depan dalam penarikan masa terhadap kampanye yang dihelat. Seyogyanya penarikan minat masa lewat kedigdayaan tokoh tersebut harus diposisikan sebagai upaya awal untuk menuju pembelajaran politik bagi masyarakat. Namun dalam prektek, kemunculan Public Figure tersebut seakan merupakan agenda utama dalam penyelenggaraan kampanye tersebut
Peletakan kampanye sebagai sarana pendidikan politik bagi rakyat secara ideal adalah dengan memaknai kampanye sebagai proses pendidikan politik yang dilakukan secara persuasif, dengan keterlibatan masyarakat menjadi dasar, dan  menghindari cara-cara represif sehingga kampanye benar-benar akan menjadi wahana pengembangan pengetahuan dan penalaran politik. Pengembangan pengetahuan ini akan mentrasformasi perilaku politik massa menjadi lebih matang, dewasa dan rasional.
            Kerentanan munculnya polarisasi konflik dalam Pilkada, juga merupakan satu faktor yang secara langsung merupakan implementasi dari sistem kampanye yang tidak di dasarkan pada keunggulan substansial. Secara empiris terdapat tiga faktor yang menyebabkan timbulnya konflik dalam Pilkada. Yang pertama adalah masalah independensi KPUD, kekecewaan pendukung karena calonnya tidak lolos seleksi dalam pemilihan dan yang terahir disebabkan oleh dari persoalan internal partai sendiri.
            Kisruh Pilkada Maluku Utara, yang hingga kini masih berlangsung, ditambah dengan sengketa Pilkada Sulawesi Selatan, Kota Pontianak, Kota Bontang dan masih banyak contoh riil konflik Pilkada di Indonesia, merupakan satu persoalan rill yang semakin mepertajam kelemahan sistem kampanye dalam mengakomodir masyarakat dalam upaya pembelajaran dan pendewasaan politik. Hal tersebut di perparah oleh realita bahwa secara umum partai politik belum berfungsi dengan baik dalam pendidikan politik bagi masyarakat.[13]
            Persoalan Kampanye biaya tinggi pun menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kompleksitas permasalahan ini. Sebuah budaya negatif yang tercipta oleh sistem yang telah tercitrakan pada penyelenggaraan kampanye, sejurus mengimplementasikan besarnya biaya kampanye bagi para calon yang akan berkompetisi dalam Pilkada. Realitas tersebut lebih di perparah ketika muncul sebuah asusmsi logis yang merupakan salah satu mata rantai tindak pidana korupsi dikalangan para calon.
Besarnya dana yang dikeluarkan para calon dalam pelaksanaan kampanye tersebut tak ayal diartikan sebagai sebuah modal dasar, yang harus segera kembali ketika posisi yang di pertaruhkan telah berhasil di kuasai. Sebuah ironi yang sangat mencengangkan dan sekali lagi rakyat merupakan pihak yang paling dirugikan. Uniknya, ketika High cost menjadi sebuah realita, kampanye sistem grilya dijadikan sebuah alternatif pilihan bagi para calon, yang secara substansial sangat jauh dari  tujuan utama kampanye.[14]
            Apabila kita coba tarik benang merah terhadap munculnya realita penyimpangan terhadap fungsi kampanye sebagai pembelajaran politik bagi rakyat, sebuah ketimpangan sistem yang tak mampu berjalan beriringan dengan kedinamisan masyarakat merupakan satu permasalahan riil yang belum terakomodir dalam sistem kampanye yang hingga kini masih menjadi dasar teknis pelaksanaan. Rekonstruksi sistem kampanye sebagai upaya suksesi kepemimpinan lewat Pilkada merupakan satu urgensi yang harus segera diwujudkan. 

2.2    Gagasan   Sistem   Kampanye   berbasis Kearifan Lokal sebagai upaya  mewujudkan Pilkada yang Kerta Tuwin Raharja
Urgensi terhadap rekronstruksi sistem dalam upaya pencapaian fungsi kampanye yaitu sebagai wadah pembelajaran dan pendewasaan politik bagi masyarakat secara konseptual dapat dilakukan dengan pendekatan kultural masyarakat dan berbasis kepada kearifan lokal masyarakat terkait. Keterlibatan rakyat dalam momen suksesi kepemimpinan lewat penyelenggaraan Pilkada dapat benar-benar di akomodir dalam konsep pendekatan melalui kearifan lokal masyarakat.
Adanya pengelompokan masyarakat Jawa Timur berdasarkan pada etnokultural utama, sangat penting dalam pemetaan karakteristik masyarakat sebagai satu langkah untuk meredam polarisasi konflik horizontal dalam khususnya dalam penyelenggaraan Pilkada. Selain itu, pendekatan kultural berbasis kearifan lokal dalam sistem kampanye tersebut, diharapkan mampu mendekatkan sistem kepada rakyat, hingga akhirnya keberadaan rakyat dalam suksesi kepemimpinan tersebut benar-benar difungsikan sebagai pilar demokrasi dan fungsi pembelajaran dan pendewasaan politik oleh kampanye dapat benar-benar terjawantahkan dengan baik oleh masyarakat.
Teknis pelaksanaan sistem kampanye yang berbasis kearifan lokal, seyogyanya dapat mengakomodir segala permasalahan yang telah muncul pada sistem kampanye konvensional yang ada. Secara teknis konsep kampanye yang penulis gagas di sini, adalah konsep kampanye yang mengedepankan substansial terhadap hal-hal apa yang akan diakomodir oleh calon sebagai nilai jual pada masyarakyat, yang meliputi kajian mengenai Visi dan Misi, Program-program, paket kebijakan, maupun penyelesaian sengketa secara.
Sistem kampanye yang berbasis kearifan lokal ini, secara khusus akan dijalankan dengan basis ilmiah, di mana kampanye-kampanye yang dilakukan oleh tiap calon harus memiliki nilai edukasi yang tinggi dan dapat menjawantahkan nilai pendidikan dan pendewasaan politik bagi masyarakat, khususnya dalam hal ini masyarakat Jawa Timur. Pelaksanaan teknis kampanye juga dapat memamfaatkan media-media edukasi yang strategis dalam upaya mengikis sikap apolitis atau apatisme masyarakat. Terhadap pencapaian hal tersebut, kampanye dengan pilar-pilar yang terkait, sekali lagi harus disandarkan pada budaya yang tumbuh dalam masyarakat dan menjadikan kearifan lokal sebagai pijakan awal.
Apabila kita komparasikan pencapaian dari dua sistem kampanye, yakni antara sistem konvensional, dengan sistem kampanye berbasis kearifan lokal yang penulis tawarkan, dapat dibahasakan analisa tersebut dalam tabel sebagai berikut;
Tabel 1
Analisa sistem kampanye konvensional dengan kampanye
berbasis kearifan lokal
NO
JENIS ANALISA
KAMPANYE KONVENSIONAL
KAMPANYE BERBASIS KEARIFAN LOKAL
1
Minat Masyarakat
Kampanye yang diwarnai oleh hiburan-hiburan berimbas pada tingginya minat masyarakat
Butuh waktu untuk meningkatkan minat masyarakat
2
Peran Serta Masyarakat
Sangat Kurang, kampanye bersifat satu arah
Masyarakat diletakkan sebagai subjek, peran serta masyarakat tinggi
3
Fungsi Pembelajaran Politik
Minim, proses pembelajaran sangat kurang ketika peran serta masyarakat hanya sebagai objek
Pembelajaran politik merupakan pilar utama dalam sistem kampanye ini
4
Biaya (Cost)
High cost (Biaya tinggi)
Biaya bukan faktor utama
5
Kerawanan Politik
Kecenderungan terjadinya polarisasi konflik
Pembelajaran politik sebagai pilar untuk menciptakan kesadaran politik dan meminimalisir konflik
Sumber: Pengolahan data dan hasil analisa penulis
Hasil analisa tersebut, secara umum menggambarkan masih lemahnya sistem kampanye yang telah ada. Belum terakomodirnya kepentingan rakyat dalam penetapan dan pelaksanaan sistem kampanye, merupakan satu faktor yang memperuncing permasalahan ini. Pendekatan kampanye yang berbasis kearifan lokal merupakan satu urgensi penting terhadap penyelenggaraan suksesi kepemimpinan melalui momen pilkada di Jawa Timur. Pendekatan tersebut tentu saja harus didasarkan pada kedinamisan dan karakteristik masyarakat Jawa Timur yang sangat plural. Pendekatan ini, yang diharapkan dapat meredam kecenderungan terjadinya polarisasi konflik dalam kaitannya dengan potensi terjadinya kekerasan dalam Pilkada.
Ketika satuan fungsi dalam sistem kampanye telah terbangun dengan basis pondasi kearifan lokal yang mampu berjalan beriringan dengan dinamika kehidupan masyarakat, luaran berupa kesadaran politik dalam arti luas akan benar-benar terwujud bagi masyarakat.[15] Kesadaran politik yang riil terjadi dalam masyarakat tersebut secara langsung akan menghasilkan keteraturan dan ketentraman hidup yang terjawantahkan utuh dalam konsep kepemimpinan jawa, yakni Anjaga Tata Titi Tentreming Praja (terjaganya keteraturan dan ketentraman hidup).
Pencapaian keteraturan dan ketentraman hidup dalam masyarakat lewat sebuah sistem yang ideal tersebut, secara langsung akan benar-benar menciptakan suksesi kepemimpinan daerah lewat penyelenggaraan Pilkada yang Kerta Tuwin Raharja, yakni Pilkada yang aman dan dapat mensejahterakan rakyat. Di mana ketika suksesi kepemimpinan sudah mampu menciptakan sebuah kondisi yang aman dalam artian bebas konflik, secara langsung Pilkada tersebut akan mensejahterakan rakyat dengan menelurkan sebuah sosok pemimpin yang ideal, di mana kebijaksanaan, budi luhur, dan keadilan merupakan satu pijakan dasar kepemimpinannya, yang tercermin pula pada falsafah kepemimpinan Jawa, Wicaksana, ber Budi Bawa Leksana, Ambeg, Adil Para Marta. Pencapaian akhir dari keseluruahan pengejawantahan konsep Jawa lewat ke-agungbinatara-an tersebutlah yang selaras akan mampu mentransformasikan nilau luhur Kerta Tuwin Raharja kepada skup yang lebih besar, yaitu Negara.

D. PENUTUP
1.  Kesimpulan
            Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa:
  1.  Relevansi Sistem Kampanye yang Dianut terhadap Suksesi Kepemimpinan Daerah dalam Penyelenggaraan Pilkada
    1. Sebuah kampanye memerlukan sistem agar pelaksanannya berjalan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.
    2. Kampanye secara Das Sollen dinilai sebagai satu wadah untuk mengimplementasikan salah satu fungsi partai politik, yaitu sebagai sarana komunikasi
    3. Sistem kampanye dapat dikatakan baik, ketika mampu beiringan dengan dinamika masyarakat
    4. Setelah sebuah sistem dalam kampanye itu berjalan dengan baik dan masyarakat sadar akan politik maka masyarakat diharapkan mampu memilih seorang pemimpin yang ideal

  1. Konsep Sistem kampanye berbasis kearifan lokal dalam   Mewujudkan Pilkada yang Kerta Tuwin Raharja
    1. Penegakan pilar demokrasi dalam penyelenggaraan Pilkada tersebut, tentunya harus dibarengi oleh sebuah sistem yang ideal dalam setiap tahapannya, terkhusus mengenai sistem kampanye.
    2. Kampanye yang ideal adalah kampanye yang berhasil membawa pesan inti dari kampanye tersebut kepada masyarakat sehingga dapat berfungsi sebagai media sosialisasi dan pendidikan politik bagi masyarakat
    3. Secara empiris masih banyak implikasi negatif terhadap pelaksanaan sistem kampanye yanng ada saat ini
    4. Keterlibatan rakyat dalam momen suksesi kepemimpinan lewat penyelenggaraan Pilkada dapat di akomodir dalam konsep pendekatan melalui kearifan lokal masyarakat.
    5. Sistem kampanye yang berbasis kearifan lokal, secara khusus akan dijalankan dengan basis ilmiah, di mana kampanye yang dilakukan harus memiliki nilai edukasi yang tinggi dan dapat menjawantahkan nilai pendidikan dan pendewasaan politik bagi masyarakat
    6. Hasil akhir dari pelaksanaan sistem tersbut ialah terjaganya keteraturan dan ketentraman hidup masyarakat (Anjaga Tata Titi Tentreming Praja), yang selaras mewujudkan Pilkada yang Kerta Tuwin Raharja (aman dan mensejahterakan) dan pada akhirnya munculah pemimpin yang Wicaksana, ber Budi Bawa Leksana, Ambeg, Adil Para Marta
 2. Saran dan Kontribusi
            Dari pembahasan permasalahan yang ada penulis coba memberikan saran dan kontribusi sebagai berikut;
1.      Hendaknya Pemerintah kembali mengkaji permasalahan sistem kampanye, yang merupakan satu tahapan yang sangat vital dalam pelaksanaan suksesi kepemimpinan daerah lewat Pilkada
2.      Peletakan kampanye sebagai sarana pendidikan politik bagi rakyat secara ideal seyogyanya dengan memaknai kampanye sebagai proses pendidikan politik yang dilakukan secara persuasif, dengan keterlibatan masyarakat menjadi dasar, dan  menghindari cara-cara represif sehingga kampanye benar-benar akan menjadi wahana pengembangan pengetahuan dan penalaran politik
3.      Sistem kampanye yang berbasis kearifan lokal yang penulis tawarkan, seyogyanya dapat dijadikan alternatif solusi dalam pelaksanaan fungsi kampanye sebagai pilar penting dalam suksesi kepemimpinan lewat penyelenggaraan Pilkada.

 

[1] Lihat Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
[2] Irvan Mawardi, Selamatkan Pilkada, www.jppr.or.id, pada tanggal 27 Oktober 2008.
[3] Anonymous, Kearifan Lokal akan Menyelamatkan Pilkada, www.kompas.com.sabtu, 14 Mei 2005.
[4] Heny Mono, Mendobrak Kediktatoran KPUD, 2008, Bayumedia: Malang.
[5] Prof. Dr. I Nyoman Nurjaya, Pengelolaan Sumber Daya Alam dalam Perspektif Antropologi Hukum, 2008, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta.
 [7] Lihat dalam Pasal 1 pada poin 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
[8] G. moedjanto, 2001, Kepemimpinan Jawa: Perintah Halus, Pemerintahan Otoriter,Yayasan Obor Indonesia , Yogyakarta.
[9] Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, 2006, Konstitusi Press: Jakarta, hal 160.
[10] J. Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah, 2008, Jakarta: Rieneka Cipta.
[11] Dikutip dari Artikel yang ada dalam mysoul.blog.com diakses pada tanggal 27 Oktober 2008
[12] Ibid.
[13]Dikutip dari  www.hamline.edu diakses pada tanggal 27 Oktober 2008
[14] Dikutip dari Pilkada.okezone.com diakses pada tanggal 27 Oktober 2008
[15] Dikutip dari www.kompas.com diakses pada tanggal 27 Oktober 2008.